Senin, 15 Januari 2024

KEDATANGAN MIA PATAMIANA DI PULAU BUTON


 

KEDATANGAN MIA PATAMIANA DI PULAU BUTON

Sejarah peradaban pulau buton tidak terlepas dari peran para pendatang melalui jalur laut sebagai cikal bakal terbentuknya Kerajaan awal Buton. Para pendatang yang dimaksud adalah Mia Patamiana atau yang di kenal sebagai 4 orang pertama yakni sipanjonga, sitamanajo, simalui dan sijawangkati, 4 orang yang ahli dalam bidang maritim berlayar dari negeri melayu ke arah Tenggara Nusantara, yang dimana kedatangan mereka secara bertahap dengan membawa serta pengikut dan rumpun keluarga. Bersatunya ke 4 pemuka ini yang kemudian membentuk wilayah khusus yang bernama Wolio, yang juga akan menjadi ibu kota atau pusat pemerintahan dari kerjaan wolio hingga pada masa kesultanan.

              Sipanjonga adalah seorang sakti dan terkemuka yang berasal dari suku melayu di negeri pasai, meninggalkan negeri asalnya pada tiga likur malam bulan sya’ban tahun 634 hijriah dengan mengajak sitamanajo sebagai pembantu utama beserta 40 orang kepala keluarga sebagai pengikutnya. Tujuan kepergian rombongan sipanjonga berangkat dari negeri asalnya adalah untuk mencari daerah yang telah diberitakan oleh leluhurnya untuk ditempati. Berbulan bulan mengarungi lautan dengan menggunakan Bahtera yang Bernama “lakuleba”, pada buritan bahtera yang ditumpangi oleh rombongan dikibarkan bendera Kerajaan leluhurnya yang berwarna hitam putih selang sling yang dalam Bahasa buton di kenal sebagai “Longa-Longa” yang juga nanti akan menjadi simbol atau bendera Kerajaan dan kesultanan buton. Nama bahtera yang ditumpangi oleh armada Sipanjonga diabadikan menjadi nama salah satu kampung yang ada di distrik sampulawa disebut desa “Lakaliba”.

              Pada tahun 1236 masehi, armada sipanjonga dan pengikutnya berlabuh pada salah satu daratan negeri Buton. Sesampainya di negeri yang baru mereka temukan ini, sipanjonga dan sitamanajo mencari daratan yang tinggi untuk pemukimannya bersama para pengikut. Rombongan sipanjonga ini membuat sebuah benteng pada salah satu bukit yang dinamai Tobe-tobe. Setelah benteng selesai dibuat, mereka datang ditempat pertama saat mereka berlabuh dengan maksud mengibarkan bendera Kerajaan leluhurnya. Maka dibuatlah lubang yang berada di salah satu tempat yang dikelilingi benteng untuk mengibarkan bendera yang kemudian tempat tersebut dinamai “Sulaa”.

              Setelah pembuatan benteng dan pengibaran bendera selesai kehidupan Masyarakat di Tobe-tobe sudah mulai berjalan, maka sipanjonga meminta kepada sitamanajo untuk mengajak Sebagian kaum pengikutnya mencari daerah baru sebagai tempat tinggal dan untuk mengembangkan keturunannya. Setelah mempersiapkan segalanya sitamanajo dan kelompok pengikut yang akan diajak berpamitan kepada pemimpinnya yakni sipanjonga serta rombongan yang ditinggalkan. Kemudian rombongan yang dipimpin sitamanajo berjalan menuju arah timur menyusuri Pantai buton sesampainya di teluk bungi todanga, mereka melihat lihat keadaan daerah tersebut sambil beristirahat. Kemudian rombongan tersebut melanjutkan perjalanan hingga sampai disuatu daratan tinggi yang berada di sebelah timur laut dari tempat kediaman sipanjonga di Tobe-tobe.

              Karena daratan yang ditemukan dirasa cocok, maka rombongan tersebut membangun sebuah perkampungan baru pada puncak gunung yang ada di wilayah tersebut. Gunung ini di kenal sebagai gunung Lambelu serta menamai pemukiman mereka sebagai benteng “kamosope”. Setelah benteng dan perkampungan selesai dibuat, maka sitamanajo memerintahkan untuk membuat lubang sebagai tempat pengibaran bendera Longa-longa.

              Kedatangan kelompok kedua di pulau buton di kepalai atau dipimpin oleh Simalui Bersama adiknya Bernama Sibaana serta pembantu utamanya bernama Sijawangkati. Diketahui bahwa Simalui adalah seorang bangsawan dari negeri daerah bumbu melayu pariaman. Meninggalkan negeri asalnya pada lima belas hari bulan sya’ban tahun 634 Hijrfiah. Sama halnya dengan Sitamanajo, kedatangan Simalui juga berdasarkan Riwayat leluhurnya yang diperintahkan untuk mencari wilayah Tenggara Nusantara. Simalui membawa rombongannya terdiri dari 40 kepala keluarga sebagai pengikut, melintasi lautan dengan bahtera yang bernama “Popangua”. Pada buritan bahtera dikibarkan bendera Kerajaan leluhurnya yang berwarna kuning hitam selang seling yang dinamai dengan “Buncaha”.

              Pada akhir tahun 1236 Masehi, rombongan Simalui berlabuh di sebelah utara timur pulau negeri buton hampir bersamaan dengan kedatangan Sipanjonga dan rombongannya. Daerah berlabuh simalui bernama Kamaru, kemudian mereka membuat perkampungan dan benteng yang disebut “Wonco”. Setelah perkampungan selesai Simalui memerintahkan para pengikutnya untuk mengibarkan bendera asal kerajaannya di dalam areal benteng. Tidak lama berselang, Simalui memerintahkan kepada Sijawangkati untuk mencari tempat baru yang cocok untuk pertanian dan Perkebunan maka Sijawangkati bersama rombongan yang dipilih berjalan menyusuri daratan pulau hingga sampai pada satu wilayah yang dianggap bagus untuk perkampungan daerah tersebut dinamai Wasuembu. Kemudian rombongan membangun perkampungan dan benteng yang dinamakan benteng “Koncu” di wabula.

              Dengan berjalannya waktu, ke dua kelompok yang datang tadi sudah mengenal satu dengan yang lainnya. Keberadaan 4 benteng sudah saling diketahui dan berkunjung. Sehingga dibuatlah suatu kesepakatan untuk mengadakan musyawarah, yang dalam musyawarah itu diputuskan bahwa mereka akan membuat perkampungan baru dengan nama “yigandangi” atau biasa disebuat sebagai “Lelemangura” dan ketua yang dipilih untuk pelaksaan proyek tersebut adalah Sipanjonga. Maka ditetapkanlah lokasi untuk pembuatan kampung baru itu, saat itu Sipanjonga berteriak pada orang banyak “Welia” yang artinya “buatlah perkampungan”. Sejak saat itu Sipanjongan hidup dan tinggal menetap di Lelemangura sampai akhir hayatnya.

Senin, 13 November 2023

Daftar Pemegang Kekuasaan di Buton Dari Masa Kerajaan Hingga masa Kesultanan

#Daftar Pemegang Kekuasaan di Buton Dari Masa Kerajaan Hingga Masa Kesultanan#.



Masa Kerajaan:

1. Raja Putri Wa Kaa Kaa
2. Raja Putri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Raja Mulae
6. Raja Murhum

Masa Kesultanan:

1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).

Demikian susunan pemegang kekuasaan dari masa kerajaan hingga masa kesultanan. Dapat di lihat bahwa setelah masa 5 raja terjadi perubahan sistem pemerintahan yang disebabkan akulturasi dari agama islam ke dalam sistem politik dan pemerintahan. Berubah menjadi sistem kesultanan, buton mengadopsi nilai nilai islam secara komplit,  dimana penegakan hukum berdasarkan syariat islam dengan masif di terapkan. Banyak hukum hukum baru yang kemudian di munculkan sebagai serapan nilai agama yang pada akhirnya memuncak pada masa Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Dimasa ini  Undang Undang Martabat Tujuh di buat dan di undangkan menjadi dasar negara kesultanan buton untuk seterusnya. Undang undang martabat tujuh mengambil nilai ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Namun muatan undang undang martabat tujuh terjadi implementasi struktur pemerintahan. Informasi tentang sara wolio, sara kadie, dan sara barata, juga tentang posisi sultan, kenepulu, sapati dan semua perangkat kesultanan di jelaskan dan di atur dalam undang undang martabat tujuh. Undang undang maratabat tujuh masih di jalankan oleh pemerintahan kesultanan Buton hingga pada masa sultan terakhir. Bergabungnya Buton ke dalam NKRI menghilangkan sistem pemerintahan kesultanan. Tidak ada lagi pemilihan sultan sebagai penguasa buton, dan semua hukum adat kesultanan yang pernah diterapkan ditiadakan.




Minggu, 22 Oktober 2023

HUBUNGAN BUTON DAN MAJAPAHIT SECARA LITERASI

HUBUNGAN BUTON DAN MAJAPAHIT SECARA LITERASI

Hubungan buton dan majapahit sudah sering kita dengar dalam tutur sejarah yang ada dalam lingkungan penyajian sejarah lokal kita, namun bagaimana hubungan antara buton dan majapahit bermula? Dan bagaimana cara membuktikannya secara literasi mungkin perlu sedikit kajian. Hubungan buton dan majapahit sendiri berawal dari kedatangan raden sribatara selaku bangsawan dari kerjaan majapahit yang datang karna melarikan diri akibat chaos yang terjadi pada wilayah majapahit. Kedatangan raden sribatara kemudian disambut oleh mia patamiana yang saat itu adalah pembesar kerajaan buton, yang kemudian menghasilkan keputusan bahwa raden sribatara akan menikah dengan raja buton pertama wa kha ka dan bersama sama membangun kerajaan buton.

Hubungan buton dan majapahit secara literasi bersumber dari tinggalan naskah majapahit. Naskah nagarakertagama karya mpu prapanca pada pupuh ke 14 pasal 5 yang berbunyi “Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Butun, Bangawi Kunir, Galian, serta Salayar,
Sumba, Solot, Muar. Lagi pula, Wanda (n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran,
Timor, dan beberapa lagi pulau-pulau lain”. Pada pupuh ini menjelaskan tentang pulau pulau yang kerajaan yang dibawahi oleh majapahit dimana tiap kerjaan mempunyai kewajiban memberikan upetinya tiap kurun waktu tertentu sebagai penghormatan dan ikatan hubungan antara kerajaan bawahan dan majapahit.

Setelah pernikahan antara raja wa kha ka dan sribatara maka terlahirlah seorang anak perempuan diberi nama Bulawambona yang kemudian menjadi raja kedua. Bulawambona menikah dengan Datu Bhalue dan  beranakan Bataraguru. Di masa batara guru menjadi raja. Untuk mendapatkan pengakuan asal usul dari bangsawan majapahit maka pergilah batara guru ke jawa pusat kerajaan majapahit,. Setiba di sana batara guru di ragukan tentang asal usulnya maka dipukullah tanah tempat ia berpijak dan mengeluarkan sumpah “apabila aku bukan berasal dari tanah ini maka di telanlah aku namun jika banar akan asal usulku maka tanah yang ku pijak akan naik sama tinggi dengan singga sanah kalian” maka naiklah tanah itu sama tinggi dengan tempat pembesar kerajaan berdiri. Maka mendapatlah dia pengakuan dari bangsawan kerjaan majapahit. Setelah itu maka kembalilah batara aguru ke buton dengan membawa pengakuannya sebagai darah bangsawan majapahit.

Berikutnya nama buton dicatut pada pupuh ke 78 pada pasal 1 sebagai berikut: Pupuh 78 “Desa Keresian seperti berikut: Sampud, Rupit dan Pilan. Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih sebuah lagi Butun. Di situ terbentang taman, didirikan lingga dan saluran air. Yang mulia Mahaguru – demikian sebutan beliau”. Jadi bisa di pastikan bahwa nama buton di sebutkan sebanyak dua kali dalam naskah nagarakertagama. Yang pertama ketika buton di sebutkan sebagai pulau atau kerajaan yang masih di bawah naungan Majapahit dan aktif memberikan upeti setiap tahunnya. Buton di sebutkan yang kedua kali sebagai desa keresian yang telah diberi tugas tertentu bersama dengan desa desa keresian yang lain,. Pada pupuh ini dapat kita lihat pembagian desa menurut mpu prapanca  menjadi desa kebudhaan, desa keresian dan desa kardikan,. Yang semua desa tersebut telah di beritugas oleh Majapahit.

Hubungan buton dan majapahit secara arkeologis di awali dari kedatangan rombongan majapahit kepulau buton pada akhir abad ke 14 dan kemudian menetap dan dimakamkan secara masal di desa yang saat ini disebut desa majapahit kec batauga kab buton selatan,. Ornament dan sisa sisa tinggalan bercorak jawa hindu terlihat dengan jelas pada makam tersebut. Namun perlu kiranya di lakukan penelitian lebih dalam dan ilmiah terkait situs makam. Temuan berupa gamelan dan keris sebagai senjata tradisional buton juga menguatkan hubungan antara buton dan majapahit di masa silam. Buton merupakan salah satu kerajaan besar di masa lampau dimana kerajaan besar seperti majapahit mengakuinya dan eksistensi buton terus berlanjut hingga masa VOC hindia belanda, telah banyak kisah heroik dan sejarah yang besar terjadi di peradaban buthuuni sehingga kiranya generasi kita saat ini mw membaca, mau merenung dan membuka diri menerima identitas negri buton sebagai negri yang besar dan berdaulat. 

oleh: pengumpul_makna

 

Jumat, 13 Oktober 2023

BUTON DALAM BINGKAI NKRI

BUTON DALAM BINGKAI NKRI
 
Thn 1945 indonesia memproklamasikan kemerdekaannya., awal2 pembentukan NKRI mendapat banyak tantangan terutama bagaimana mendapat 1 suara dari berbagai kerajaan dan kesultanan agar bersatu dalam nama NKRI. Sehingga d putuskanlah dalam sidang BPUPKI bahwa yg termasuk dalam wilayah nkri adalah semua wilayah bekas jajahan hindia belanda. 

Kemudian pada tahun 1946 pihak hindia belanda melakukan pertemuan di malino yang d kenal sebagai konfrensi malino dimana tujuannya adalah membentuk federasi indonesia timur, atw membentuk negara bagian indonesia timur,. Nah pada tahun ini hindia belanda belum mw mengakui kedaulatan NKRI sehingga di himpun seluruh kerajaan dan kesultanan mndapatkan pengakuan atw kekuatan politik dari wilayah krajaan dan kesultanan d timur, namun sultan buton yg pada saat itu hadir dalam konfrensi menolak keputusan di dlamnya sehingga saat pengambilan suara sultan buton tdak mw bertanda tangan. ini sebagai bentuk ketidak setujuannya. Pada tahun 1950 setelah hindia belanda mw mengakui secara de facto dn de jure kedaulatan NKRI. Soekarno melakukan kunjungan bersama delegasi ke MALINO, pertemuan ini di kenal dengan pertemuan malino, yg menghadirinya adalah dari pihak kesultanan buton la ode falihi, dari kerajaan bone, dan makassar. Pada pertemuan ini soekarno mengajak ketiga kerajaan untuk bergabung ke dalam nkri. Untuk buton soekarno memberikan tawaran yg cukup menarik yakni akan di jadikan daerah istimewa layaknya aceh dan yogyakarta. Atas kesepakatan ini maka sultan buton bersedia untuk bergabung. 
 
Dari rentetan sejarah diatas posisi buton cukup   menarik. Saat sidang bpupki memutuskan bahwa yg di sebut wilayah nkri adalah bekas jajahan hindia belanda sedang buton saat itu bukan wilayah jajahan belanda melainkan berkongsi dan mempunyai perjanjian2 kerjasama dari sultan2 sebelumnya. Kmudian, fakta bahwa saat itu buton d klasifikasikan sebagai negara bagian yg berdaulat sendiri. Dan bahwa buton bergabung kedalam nkri di thn 1950an bbrpa thn setelah indonesia merdeka berdasarkan kesepakatan antara soekarno dan sultan buton meskipun sampai saat ini janji itu tdak terlaksana. Namun masih banyak pertanyaan juga misteri tentang langkah yang di ambil buton saat itu, jika di lihat dari aspek kedaulatan dimana hukum dan aturan adat bahkan dilantik dan dimakzulkannya sultan semua atas keputusan siolimbona maka bisa sakeputusan sultan buton saat itu bisa di batalkan mana kala terbukti tidak adanya kesepakatan atw pemutusan peradilan hukum kesultanan buton. Siolimbona bertugas menjaga hukum dlam kesultanan buton tetap berjalan. Apakah seorang sultan boleh membuat keputusan mnyangkut kedaulatan negri sendiri tanpa ada putusan siolimbona?. Jika melihat sejarahnya sdah berapa banyak sultan yg bukan hanya di makzulkan tetapi di gogoli karna tdak sejalan dengan nilai2 hukum negri yg sdah d tetapkan. Ada hak hak buton yg sudah selayaknya di penuhi oleh negara. Poromu yinda sangu poga yinda kololota. Wallahualam 
 
oleh: Pengumpul_Makna

Senin, 23 September 2019

KONSEP MURTABAT TUJUH SEBAGAI UNDANG UNDANG DASAR DALAM TUBUH KESULTANAN BUTON

Murtabat Tujuh Sebagai Ruh Penggerak Jalannya Pemerintahan Kesultanan Buton

Murtabat Tujuh merupakan ajaran Tasawuf teosofis tentang asal kejadian manusia dan alam semesta, bahwa segala sesuatu adalah dari pada dzat Allah. Ajaran ini berkembang pada abad pertengahan di cetuskan oleh Muhammad ibn Fadlullah al Burhanpuri yang kemudian di besarkan oleh ibn Arabi. Pada awal berkembangnya, banyak yang menentang ajaran ini namun banyak pula yang tidak menyangkalnya karna menurut mereka ajaran ini merupakan ajaran tauhid tertinggi. Permulaan keadaan hanyalah dzat Allah semata mata kemudian dzat Allah menjadikan Nur Muhammad dari pada dirinya dan dari Nur Muhammad segala sesuatu di jadikan. Konsep ajaran ini menggambarkan bagaimana dzat Allah mentajallikan dirinya agar lebih di kenal oleh ciptaannya dan ciptaannya mampu mengenal penciptanya melalui empat tahapan yakni tauhid Afal, Asma, Sifat agar bisa sampai kepada Dzat. 

Di Buton sendiri ajaran Murtabat Tujuh dibawah oleh Farus Muhammad seorang keturunan Arab dari Aceh pada masa kepemimpinan sultan buton ke 4 Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Kemudian oleh sultan ajaran Murtabat Tujuh di transformasikan menjadi sistem dan undang undang  dalam kesultanan yang mengatur jalannya pemerintahan. Berikut adalah konsep ajaran Murtabat Tujuh:

1. Martabat ahadiyyah”. Yang disebut ahadiyyah adalah zat Allah semata, yang tidak diiktibarkan dengan sifat. Itulah yang disebut oleh ahli tasawuf dengan “la ta ayyun”, artinya tiada nyata akan “kenyataan-Nya”, sebab tiada sekali-kali jalan bagi akal untuk mengetahui-Nya karena zat Allah semata-mata tidak diberi sifat dan nama (asma’).

2. Martabat wahdah’’. Yang disebut demikian adalah sifat Allah. Dan itulah yang disebut oleh ahli tasawuf dengan “ta’ayyun awwal”, artinya “kenyataan pertama”. Disebut demikian, karena pada “kenyataan pertama” itulah permulaan akal bisa mengetahui sifat Allah, sifat salbiyyah dan  sifat wujudiyyah.

3. Martabat wahidiyyah”. Yang disebut demikian adalah asma Allah. Dan oleh ahli tasawuf disebutnya dengan “ta’ayyun sani”, artinya “kenyataan yang kedua”. Disebut demikian, karena pada tingkatan ini Allah dapat dikenali oleh akal melalui asma-Nya, sebab asma-Nya itulah menunjukkan zat-Nya.

4. Martabat alam arwah”. Itulah pokok permulaan segala nyawa, baik manusia, maupun bagi makhluk lain. Dan nyawa yang pertama dijadikan oleh Tuhan adalah nyawa nabi Muhammad saw. Oleh karenanya, ia bergelar “abu al-arwah”, artinya “bapak segala nyawa”. Seratus dua puluh ribu tujuh tahun sesudahnya barulah diciptakan roh yang lain. Dan segala sesuatu yang diciptakan sesudahnya adalah karena roh Muhammad. Sebagai mana sabda Nabi Muhammad saw., “ Khalaqtu asy-syai’ li-ajlik wa-khalaqtuka li-ajli.” (Aku menciptakan sesuatu karena kamu, dan Aku menciptakanmu karena Aku). Sebabnya ia disebut ruh  dalam bahasa Arab karena ia “pergi pulang”. Maka dalam bahasa Wolio, rih disebut dengan lipa. Kata ini juga berarti “pergi pulang”. Disebut demikian karena roh ini datang dan pergi pada jasad (badan). Jasad akan hidup jika didatangi oleh roh, dan mati jika ditinggalkan roh.

5. Martabat alam misal”. Yaitu perumpamaan segala keadaan, selain keadaaan Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan ada perumpamaannya dalam alam misal ini. Karena hanyalah sebagai perumpamaan, alam misal keadaanya halus, tidak dapat dicapai oleh pancaindera.

6. Martabat alam ajsam”, yaitu segala kenyataan yang nyata, seperti tanah, batu, awan, air, dan segala keadaan yang dapat dibagi dan disusun. Alam ajsam ini bernama juga alam syahadah, artinya alam yang nyata, karena dapat diselidiki oleh pancaindera. Alam yang pertama dijadikan oleh Allah adalah ‘arsy dan kursi, kemudian kalam, lauh mahfuz. Sesudah itu baru tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit.’arsy, kursi,  dan tujuh lapis langit disebut “wujud aba”, sedangkan bumi disebut “wujud ummahat”. Dan ajsam yang ada dibawah langit ada tiga jenis, yaitu :beku, tidak berkembang biak, dan nabatat, artinya tubuh segala tumbuh-tumbuhan. Dari semua ajsdam, tubuh Nabi Adamlah yang pertama diciptakan diatas bumi. Karenanya, ia bergelar “abu al-basyr”. Dan badan manusia ini terbentuk dari empat anasir, yaitu tanah, air, angin dan api.

7. Martabat alam insani”, yaitu yang disebut manusia. Alam ini disebut pula ”martabat jam’iyyat”,  artinya tingkat yang mengumpulkan segala dalil yang menunjukkan keadaan Tuhan, yaitu sifat jalal dan jamal. Pada manusia itulah berkumpul dua perumpamaan, yaitu: roh adalah perumpamaannya al-haq (Tuhan), dan badan atau tubuh adalah perumpamaannya al-kahlq (ciptaan). Dikatakan demikian karena manusia memiliki sifat dua puluh yang wajib bagi Tuhan; dan karena segala sesuatu sifat yang ada pada badan atau tubuh manusia ada pula pada alam besar. Sebagai contoh, batu pada alam besar ditamsilkan dengan tulang dan daging pada manusia, angin pada alam besar ditamsilkan napas pada manusia. Itulah sebabnya manusia disebut dengan “alam kecil”, dan alam yang diluar manusia disebut “alam besar”. Ini berarti, segala sesuatu yang ada di alam ini ada tamsilannya pada manusia. Bahkan lebih dari itu, pada manusia ada roh sebagai tamsil Tuhan yang tidak ada pada alam besar. 

Dalam sistem pemerintahan Buton perangkat pemerintahan di tamsilkan menjadi tujuh tingkatan dalam martabat tujuh sebagai berikut:
.         Ahdiah (La-Ta‘-Yun) = Zat = Sulthan
·         Wahdiah (Ta‘-Yun-Awal) = Nur Zat = Sapati
·         Wahidia (Ta‘-Yun-Tsani) = Nur Muhammad = Kenepulu
·         Alam Arwah = Nuthfah = Kapitalao
·         Alam Mitsal = Alaqah = Bonto Ogena
·         Alam Ijsam = Mudgah = Bonto Siolimbona/Bobato
·         Alam Insan = Jisim insan = Parabela

Dalam Kesultanan Buton ajaran ini menyatu menjadi sendi keyakinan dalam tubuh kepercayaan masyarakatnya, namun demikian pelaksanaan syariat menjadi hal yang paling utama dalam ibadah rububiyah hal tersebut di sandarkan dengan kebijakan-kebijakan di masa kesultanan yang begitu sarat akan hukum syariatnya. Pada dasarnya masyarakat kesultanan buton menganut ajaran tasawuf yang begitu kental sehingga mempengaruhi hampir pada semua aspek kehidupannya. Benteng keraton buton misalnya, dengan luasnya yang hampir mencapai kurang lebih 2000m2 letaknya yang secara geografis membentuk serupa dengan huruf mim pada Al quran yang bagi masyarakat buton bermakna rahasia. Kemudian dengan pintu yang berjumlah 12 ditamsilkan mewakili 12 lubang pada diri manusia baik luar dan dalamnya, sebagian kalangan lagi mentamsilkan 12 pintu tersebut sebagai pintu sifat pada diri manusia yang daripadanya iblis masuk dan menjerumuskan manusia.



ETNISITAS SUKU PEMBENTUK MASYARAKAT BUTON

SIAPA MASYARAKAT ASLI PULAU BUTON?

1. Suku Wambolebole
Pulau Buton didatangi oleh sekelompok masyarakat berasal dari bangsa Neutro Melayu yang menyebar dikawasan Asia Tenggara bersama suku terasing lainnya di Nusantara pada abad ke – 3 sebelum Masehi. Bentuk tubuhnya memiliki kesamaan satu sama lain, perilakunya pun demikian. Mereka berjalan beriringan-iringan dan berjejer satu persatu kebelakang. Cara berpakaian laki-laki dengan menggunakan destar diikat dengan tali hutan, sementara perempuan memakai sarung tradisional yang khusus untuk wanita disebut Kasopa. Benangnya diberi warna dari daun nila yang disebut Lolo.

Mereka tidak melakukan percakapan bila berada ditengah-tengah orang banyak. Bila dianggap perlu mereka berbisik-bisik atau menggunakan bahasa isyarat untuk berbicara dengan temannya. Bila mereka berada dipasar, mereka membeli tembakau iris, kapur sirih, buah pinang dan bahan keperluan lain seperti ikan kering dan gula merah. Mereka datang tidak diketahui dari mana asalnya, secara tiba-tiba pun mereka kembali tanpa bekas.
Suku ini mendiami hutan belantara antara wilayah Kolensusu dan Lasalimu. Saat ini pun mereka masih ada, tetapi keberadaan mereka tidak bisa diliat orang biasa.

2. Suku Kombilo
Suku Kombilo merupakan salah satu suku asli yang mendiami hutan belantara antara wilayah Watouge dan wilayah Lambelu. Ciri khas suku ini sama dengan suku Wambolebole. Suku ini tidak dapat dilihat oleh masyarakat biasa. Suku ini pula sering mengunjungi pasar-pasar. Mereka jarang berkomunikasi dengan masyarakat biasa.
Apabila mereka bertamu dirumah masyarakat biasa mereka tidak dapat terlihat melainkan hanya suara saja yang terdengar. Sebaliknya apabila masyarakat biasa yang berkunjung diperkampuan suku Kombilo haruslah membawa oleh-oleh berupa ikan Wawokia (Lure/Teri) yang dimasak dan diasapi (Kaholeona Rore), tembikau iris, daun sirih, buah pinang. Lalu berdiri dipinggir jalan sambil menutup mata dan berniat sesuai perjanjian antara tamu dengan anggota suku yang akan dikunjungi. Setelah membuka mata kembali, tamu itupun telah berada diperkampungan suku Kombilo.

3. Suku Wakarorondo (Wakaokili)
Keberadaan suku Wakarorondo (Wakaokili) sama dengan suku Wambolebole dan Kombilo. Suku Wakarorondo (Wakaokili) bermukim pada hutan belantara wilayah Pasarwajo. Suku ini juga hanya dapat terlihat jika berada dipasar dan ketika meninggalkan pasar begitu saja tanpa diketahui kemana arahnya.
Peradaban mereka juga sama, cara berpakaian dan berjalannya sama. Proses berjalannya beriring-irngan dan berjejer satu saf kebelekang, ini disebabkan karena kebiasan mereka berjalan dihutan, yang ada hanya jalan setapak sehingga setiap orang terpaksa berjalan satu-satu, beriringan kebelakang.
Informasi budaya mengatakan suku ini hidup bertani, mengumpulkan hasil hutan, memlihara hewan ternak dan menangkap ikan di sungai. Kepercayaan, agama dan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain atauapu berkomunikasi antar mereka sendiri maupun melalui uang mereka gunakan untuk tukar menukar belum diketahui secara pasti.



Gambar ilustrasi: google

Diposkan oleh GADO-GADOMAN di 13.34 (Artikel rujukan)

Senin, 10 April 2017

Etnisitas Masyarakat Buton Era Kesultanan

Etnisitas Masyarakat Buton Era Kesultanan

        Kerajaan Buton yang berdiri sejak 1332 M, awalnya merupakan kerajaan yang kecil yang terdiri empat wilayah kekuasaan (Pata limbona), kemudian menjadi Sembilan Wilayah Kekuasaan (Sio Limbona) yang dipimpin masing-masing oleh seorang Mentri (Bonto). Seiring perkembangan waktu, wilayah kerajaan/kesultanan Buton semakin luas hingga terdiri dari empat kerajaan Barata (wilayah Otonomi dengan raja tersendiri namun tunduk pada Kerajaan/Kesultanan Buton dan bertugas melindungi Kedaulatan Buton) dan 72 wilayah Kadie.

      Dengan tercetusnya perjanjian “Persekutuan Abadi” tahun 1613 dengan Belanda, Kesultanan Buton yang sebelumnya di anggap merupakan wilayah kekuasaan dari Ternate atau Gowa oleh orang-orang Eropa ternyata memperlihatkan Kedaulatannya. Ini adalah Kepandaian Kesultanan Buton (La Elangi) dalam bidang Diplomasi, yang secara tidak lansung dengan adanya perjanjian tersebut, maka Kedaulatan Kesultanan Buton mendapat pengakuan oleh bangsa Eropa (Belanda-Inggris-Portugal) berikut wilayah dan kekuasaannya.

       Masyarakat yang mendiami kesultanan Buton, terdiri atas beberapa Suku asli, adapun suku-suku tersebut adalah:
1. Suku Wolio yang mendiami Pulau Buton (pulau utama), bahagian selatan dan Kepulauan Tukang Besi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya;
2. Suku Maronene yang mendiami  Pulau Muna, Kabaena, Buton bahagian utara, Poleang, Rumbia di jazirah tenggara Sulawesi;
3. Suku laut bajoe (bajau) yang mendiami pesisiran pulau pulau Buton, Muna dan beberapa pulau yang lain (Yunus 1995a:23).
Orang Buton memiliki semangat bahari dengan corak kebudayaan yang berkait dengan laut dan adalah satu kumpulan etnik perantau di Indonesia (Southon 1995; Abdul Munafi dkk. 2002; Tenri & Sudirman 2002; Schoorl 1993:66-69).

Struktur Masyarakat Buton

1.   Kaomu atau Kaumu (kaum ningrat), iaitu keturunan  garis bapak dari pasangan raja pertama. Laki-laki dari golongan ini mempunyai nama depan La Ode dan wanitanya Wa Ode. 
2.  Walaka, iaitu keturunan menurut garis bapak dari Founding Fathers Kerajaan  buton (mia patamiana). Mereka termasuk elit penguasa. Melalui sistem tertentu, lelaki Kaomu boleh menikahi perempuan Walaka.
3.   Papara atau disebut juga “orang gunung” (Encyclopaedie 1917:16), yaitu anggota masyarakat biasa yang tinggal di wilayah kadie (desa) dan masih merdeka. Mereka disebut juga budak adat (Schoorl 1986) dan dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tetapi sama sekali tidak mempunyai jalan kepada kekuasaan di pusat.
4.     Babatua (budak) yang berhak diperjualbelikan atau dijadikan hadiah
5.   Analalaki dan Limbo. Mereka adalah golongan kaomu dan walaka yang diturunkan darjatnya kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas sesuai dengan status sosialnya (Schoorl 2003:213-14)

      Wilayah Kesultanan Buton (121,40° dan 124,50° LS;  4,20° dan 6,20° BT) meliputi gugusan kepulauan di jazirah tenggara Pulau Sulawesi, yaitu Pulau Buton (di sini terletak kota Bau-Bau dimana istana kerajaan dibina), Pulau Muna (atau Woena atau Pancano), Pulau Kabaena, Pulau-pulau kecil antara Pulau Buton dan Muna (yaitu Pulau Tiworo, Tikola, Tobeya Besar dan Tobeya Kecil, Makassar [Liwotu], Kadatua [Kadatowang], Masiring, Bata Oga, Siompu, Talaga Besar dan Talaga Kecil), Kepulauan Tukang Besi (terdiri atas Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko), Poleang dan Rumbia di jazirah Sulawesi Tenggara, Pulau Wowoni, dan sejumlah pulau kecil lainnya yang terletak di sela-sela pulau tersebut yang tidak kelihatan di peta (Encylopaedie 1917:104-05; Zuhdi dkk. 1996:5; Yunus 1995a:22)

Wilayah kesultanan terdiri atas tiga bahagian (Yunus 1995a:v).
1.  Wilayah Wolio atau keraton yang menjadi pusat pemerintahan dan pengembangan Islam ke seluruh wilayah kesultanan. Wilayah wolio hanya boleh dihuni golongan kaomu dan walaka (bangsawan).
2.  “Wilayah Kadie” (wilayah di luar keraton, seluruhnya berjumlah 72 kadie) yang dimiliki golongan penguasa dan dihuni golongan papara.
3.   kerajaan-kerajaan kecil yang disebut “wilayah Barata”, yang memiliki pemerintahan sendiri tetapi tunduk ke bawah kekuasaan pemerintah pusat setelah ditaklukkan. 

       Ada empat wilayah kekuasaan Barata yang masing-masing dipimpin Lakina Barata dari golongan Kaomu, iaitu:
1.      Barata Muna yang berpusat di Raha, di pesisir timur bahagian tengah Pulau Muna;
2.      Barata Tiworo yang berpusat di Tiworo;
3.      Barata Kalingsusu (Kalincusu) yang berpusat di bahagian timur pulau Buton;
4.      Barata Kaledupa yang berpusat di Kaledupa (Yunus 1995:22).

    Barata harus membela Kesultanan Wolio melawan musuh-musuhnya. Lebih jauh mengenai kewajiban barata terhadap Kesultanan Wolio (Buton), (Schoorl 2003:92).
Kekuasaan pusat dipegang golongan kaomu dan walaka yang berkedudukan di Keraton Wolio di Bau-Bau. Mereka menjadi penguasa yang tertinggi untuk ketiga-tiga wilayah itu (wolio, kadie dan barata).

Artikel rujukan: (Ujung Angin)

KEDATANGAN MIA PATAMIANA DI PULAU BUTON

  KEDATANGAN MIA PATAMIANA DI PULAU BUTON Sejarah peradaban pulau buton tidak terlepas dari peran para pendatang melalui jalur laut seba...