Jumat, 30 September 2016

Pelantikan Sultan Buton Pasca Reformasi Tahun 2011

Sejarah awal  dibentuknya Kerajaan Buton (tahun 1332) adalah merupakan  penyatuan dari beberapa Kerajaan kecil,  namun yang istimewa disini yaitu Penunjukan Raja Buton pertama, Dimana Raja pertama yang diangkat adalah seorang Wanita yang bukan berasal dari beberapa Kerajaan tersebut, sedangkan Raja dari beberapa Kerajaan itu lalu diangkat menjadi Mentri (Bonto). Dapat diartikan bahwa dimata beberapa Raja dan rakyat dari Kerajaan tersebut, mereka  melihat adanya sifat kepemimpinan dan kewibawaan serta keteladanan yang dimiliki Ratu Wa Ka kaa yang melebihi mereka, sehingga ia dipilih secara aklamasi menjadi Raja/Ratu pertama bagi Kerajaan Buton (Zahari, 1977: 21-25). Di samping itu, Kerajaan Buton dengan Raja pertama adalah seorang wanita, ini menandakan antara wanita dan pria memiliki hak dan kedudukan yang sama sebagai seorang pemimpin. Pengangkatan Ratu Wa kakaa menunjukkan adanya system demokrasi yang luar biasa. Begitupula dengan pengangkatan Raja ke-VI Lakilaponto (1521), yang selanjutnya menjadi Sultan Buton pertama (1541/948 H) yang juga mengubah status Kerajaan menjadi Kesultanan. Pengangkatannya sebagai sebagai seorang Raja disebabkan karena jasanya dalam menumpas Armada perang La Bolontio, yang kerap mengganggu Kerajaan Buton (Zahari, 1977: 47).
     Sama halnya dengan Kerajaan-Kerajaan lain yang terdapat di Nusantara,  dimana jabatan Raja/Sultan diwariskan kepada generasinya di Buton pun status Raja diturunkan berdasarkan hirarki anak. Hal ini berlangsung dari raja ke-dua hingga Raja ke-empat, selanjutnya yang menjabat adalah kemenakan Raja Tua Rade yakni Raja Mulae (Raja Buton ke-lima). Namun  pada sistem pemerintahan Kesultanan Buton, Sultan dipilih berdasarkan sistem pemilihan Demokrasi, walaupun pada dasarnya  Sultan yang dipilih hanya berdasarkan satu golongan tertentu. Sistem pemilihan ini dilakukan dengan calon yang disiapkan dari golongan “kaomu” dengan tiga cabang keluarga (Kamboru-mboru (lalaki) Talupalena  = tiga tiang penyangga). Kerajaan/Kesultanan Buton telah menunjukkan sistem demokrasi jauh sebelum Negara demokrasi lahir.
Setiap kelompok masyarakat dimanapun berada senantiasa mempunyai pandangan (filosofi) dalam kehidupan.  Filosofi ini berlandaskan keyakinan yang dianutnya baik itu agama bumi maupun agama langit (samawi).  Nilai-nilai  kearifan ini tidak saja terpandang sebagai suatu ide tetapi selanjutnya diwujudkan dengan hasil karya nyata baik dalam kehidupan secara pribadi, bermasyarakat maupun Bernegara. Sultan, Sapati, Kenepulu, Kapitalau, Bonto Ogena, Siolimbona, Bobato, Bobato Siolipuna, Bobato Bana Meja, Bobato Mancuana yang terhimpun dalam struktur pemerintahan Kesultanan Buton, wilayah dan kekuasaannya telah berakhir ketika pemerintahan swpraja ditiadakan tahun 1960 (Zahari, 1977: 34).  Namun dalam perspektif budaya kebesaran dan kewibawaan tatanan pemerintahan masih dibutuhkan pada era otonomi daerah dewasa ini.  Pangka (orang yang memiliki kedudukan) demikian sebutan bagi pejabat tinggi Negara yang bertindak sebagai pimpinan tradisional dalam struktur pemerintahan Kesultanan Buton ketika itu sudah jarang terdengar dan nama itu sudah tidak bersahabat lagi dengan keseharian kita. Nama jabatan terhormat dan sakral pada masa lalu ini terancam menghilang dari memori kolektif dan perbincangan kita sehari-hari.  Nama-nama jabatan tersebut sudah asing ditelinga kita dan bahkan pengalaman kolektif ini sudah tidak dikenal lagi dikalangan generasi muda.
Berdasarkan arsip dan naskah Kerajaan/Kesultanan Buton adalah sebuah Kerajaan yang berdaulat yang berdiri pada pertengahan abad ke 14 dan mengubah status pemerintahannya menjadi Negara Kesultanan pada tanggal 1 Ramadan tahun 948 H (1541 M) ketika itu agama Islam resmi diterima sebagai agama Negara (Rudyansjah, 2009: 32)..  Dari sumber-sumber berupa  kabenci-kabenci (naskah-naskah) dan tula-tula (oral tradisional) yang tersimpan dalam berbagai bahasa dan versi menorehkan berbagai informasi keagungan dan kejayaan Kerajaan/Kesultanan Buton di masa lampau. .

Wilayah kekuasaan Kerajaan/Kesultanan Buton terdiri dari pusat dan daerah dengan pusat pemerintahan adalah Wolio (sekarang Kota Baubau) dan daerah kekusaaan terdiri dari Barata dan Kadie yang meliputi gugusan kepulauan dikawasan bagian tenggara jazirah Sulawesi Tengggara yang terdiri dari Pula Buton, Pulau Muna, Pulau Kabaena, Pulau-Pulau Tiworo, Tikola, Tobeya, Tobeya Besar dan Tobeya Kecil, Pulau Makassar, Pulau Kadatua, Masiri, dan Pulau Siompu, Pulau Talaga Besar, Pulau Talaga Kecil, Poleang, Rumbia, Pulau Wawonii, Pulau Wanci, Pulau Tomia dan Pulau Binongko.  Dari keseluruhan wilayah terdapat 72 Kadie dan 4 wilayah Barata.  Adapun empat wilayah Barata adalah Barata Tiworo, Barata Kolencusu, Barata Muna dan Barata Kaedupa (Zahari, 1997: 19).
 Benteng Keraton Buton adalah bekas peninggalan Kesultanan Wolio/Buton dan biasa disebut Benteng Keraton Wolio. Benteng Keraton ini juga masuk Guiness of Record tahun 2006 dan rekor MURI sebagai benteng terluas di dunia. Panjang keliling benteng tersebut 3 kilometer dengan tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (tebal) 2 meter.
Bangunannya terdiri atas susunan batu gunung bercampur kapur dengan bahan perekat dari agar-agar, sejenis rumput laut. Luas seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng meliputi 401.911 meter persegi. Area yang demikian luas itu mengalahkan benteng terluas di dunia sebelumnya yang berada di Denmark. Dengan demikian, Benteng Keraton tercatat sebagai yang terluas di dunia. Di dalam kompleks benteng melingkupi satu wilayah kelurahan, dengan nama kelurahan Melai, dan tercatat sebagai salah satu kawasan terpadat di kota ini.
Banyak objek menarik di dalam benteng Keraton Wolio itu. Di sana ada batu popaua, masjid agung, makam Sultan Murhum (Sultan Buton pertama), Istana Badia, dan meriam-meriam kuno. Di dalam kawasan benteng terdapat permukiman penduduk yang merupakan pewaris keturunan dari para keluarga bangsawan Keraton Buton masa lalu. Di tempat ini juga terdapat situs peninggalan sejarah masa lalu yang masih tetap terpelihara dengan baik. Di tengah benteng terdapat sebuah masjid tua dan tiang bendera yang usianya seumur masjid. Yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton III La Sangaji Sultan Kaimuddin atau dikenal dengan julukan ‘Sangia Makengkuna’ yang memegang takhta antara tahun 1591-1597.
Benteng ini memiliki panjang 2.740 meter yang mengelilingi perkampungan adat asli Buton dengan rumah-rumah tua yang tetap terpelihara hingga saat ini. Masyarakat yang bermukim di kawasan benteng ini juga masih menerapkan budaya asli yang dikemas dalam beragam tampilan seni budaya yang kerap ditampilkan pada upacara upacara adat.
Tetapi, ada sedikit bau mistik di dalam masjid tua itu. Di belakang mimbar khatib atau di ujung kepala imam tatkala dalam keadaan sujud terdapat pintu gua yang disebut ”pusena tanah” (pusat bumi) oleh orang-orang tua di Buton. Konon dari dalam gua itu keluar suara azan pada suatu hari Jumat. Peristiwa itu menjadi latar belakang pendirian masjid di tempat tersebut.  Ketika masjid itu direhabilitasi pada tahun 1930-an, pintu gua tadi ditutup dengan semen sehingga ukurannya lebih kecil menjadi sebesar bola kaki. Lubangnya diberi penutup dari papan yang bisa dibuka oleh siapa yang ingin melihat pintu gua itu.
Di salah sebuah kamar Kamali (istana) Badia, masih di kompleks keraton, terdapat meriam bermoncong naga. Meriam bersimbol naga tersebut dibawa leluhurnya Wakaa-kaa dari Tiongkok sekitar 700 tahun silam. Meriam itu masih memiliki peluru dan masih bisa diledakkan. Kamali Badia itu sendiri tidak lebih dari rumah konstruksi kayu khas Buton sebagaimana rumah anjungan Sultra di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Sesuai tradisi, rumah atau istana Kesultanan Buton harus dibuat keluarga sultan dengan biaya sendiri.
Khusus Benteng Keraton Buton yang aslinya disebut Keraton Wolio dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton VI (1632-1645), bernama Gafurul Wadudu. Benteng ini berbentuk huruf dhal dalam alpabet Arab yang diambil dari huruf terakhir nama Nabi Muhammad SAW. Benteng Keraton Wolio memiliki 12 pintu gerbang dan 16 pos jaga (bastion). Tiap pintu gerbang (lawa) dan bastion dikawal empat sampai enam meriam. Pada pojok kanan sebelah selatan terdapat godana-oba (gudang mesiu) dan gudang peluru di sebelah kiri. Konon pada masa pembuatan benteng keraton ini bahan baku utama yang digunakan adalah batu-batu gunung yang disusun rapi dengan kapur dan rumput laut (agar-agar) serta putih telur sebagai bahan perekat.  
 Tata Cara Proses Pemilihan Sultan Buton Pasca Reformasi
Dalam pemilihan Sultan di Buton tentunya di hiasi dengan adat dan tata cara tertentu yang dilakukan sejak zaman keemasan kesultanan hingga berakhirnya sistem kesultanan dan Buton bergabung dengan NKRI. Kemudian pada tahun 2011 lembaga adat kesultanan Buton atas izin dari pemerintah membentuk kembali sistem kesultanan dengan memilih Sultan yang baru. Dari hasil wawancara menurut Drs. H Sirajuddin Anda, mengatakan tak ada perbedaan dalam proses pemilihan maupun pelantikan dalam pengukuhan Sultan Buton ke-39 tahun 2011 dengan pengukuhan Sultan di era Kesultanan hanya saja menurut beliau, pemilihan Sultan pada masa lalu berfungsi sebagai pemimpin jalannya pemerintahan sedangkan pada saat ini hanya sebatas kepentingan politik dan daerah yakni untuk mendukung Festival Keraton Nusantara dan kepentingan-kepentingan daerah lainnya.
Dalam pemilihan Sultan terdapat 4 tahap yang di lakukan oleh Sio Limbona yakni; penjaringan (tiliki), penyaringan (Kambojai), Fali, Sokaiana pau, yang setelah semuanya terlaksana maka dilaksanakanlah Bulilingiana pau.
1.   TILIKI ; maksudnya adalah meneliti, menyaring calon/figur dari kamboru-mboru talupalena yaitu perwakilan dari kaum Tanailandu, kaum Tapitapi dan kaum Kumbewaha. Setiap kamboru-mboru diawasi dan diteliti oleh 3 orang siolimbona, masing masing : Bontona peropa, bontona gundu-gundu dan bontona rakia meneliti figur dari kaum Tanailandu. Bontona baluwu, bontona barangka topa dan bontona wandailolo meneliti figur dari kaum Tapitapi. Bontona Gama, bontona siompu dan bontona melai meneliti figur dari kaum Kumbewaha. Dari hasil penyaringan mereka melahirkan 3 orang calon/figur dan selanjutnya figur tersebut dilaporkan kepada bonto ogena (abawamo katange), dalam bahasa adat disebut "daangia kokompoakea baaluwu te peropa).
2.     KAMBOJAI ; maksudnya setelah bonto ogena menerima figur yang dilaporkan oleh siolimbona, tidak serta merta diterima atau ditetapkan (pasoa), tetapi masih dikembalikan untuk ditinjau kembali, dirapatkan dengan para yarona bonto dan yarona bobato, siapa tahu masih ada figur yang terlupakan sementara layak untuk dicalonkan menjadi sultan.
3.    FALI ; prosesi ini maksudnya adalah pelaksanaan penetapan calon sultan secara agama/religi di dalam masjid agung keraton oleh imam mesjid dan bhisa patamiana yang diawali dengan shalat sunat istighara pada pukul 24.00 tengah malam. Setelah itu dibukakan Alquran pada juz 15 (pusena qura'ani walya thalatttaf), selanjutnya membuka 7 lembar bagian kanan dan 7 lembar bagian kiri untuk mencari huruf yang terbanyak sesuai nama calon/figur sultan. Calon yang terbanyak huruf namanya terdapat dalam lembaran Alquran yang dibuka tadi dan berdasarkan petunjuk dari Allah SWT (biasanya ada tanda sebagai petunjuk), maka dialah yang ditetapkan sebagai Sultan Buton dan 2 calon lainnya diangkat sebagai sapati dan kenepulu.
4.  SOKAIANA PAU ; maksudnya penyampaian hasil Fali kepada khalayak bahwa Sultan Buton telah ditetapkan dan tidak dapat diganggu gugat.
Sedangkan BULILINGIANA PAU ; maksudnya adalah upacara pelantikan sultan terpilih yang ditetapkan pada hari jumat setelah pelaksanaan shlat jumat. Sultan terpilih diarak menuju batu popaua sebagai tempat pelantikan sultan dengan putaran payung 7 kali ke kanan dan 7 kali kekiri yang diawali dgn kata-kata sumpah (sumpana tana wolio). Apabila penunjukan dan pengangkatan seorang Sultan Buton tdk melalui proses dan mekanisme seperti di atas maka berarti keberadaannya diragukan dan bisa dianggap ilegal atau melecehkan adat dan budaya leluhur di tanah Buton. Dalam proses penyaringan saat ini menggunakan lembaga adat yang sudah dirundingkan dan sudah ditentukan siapa-siapa yang akan dicalonkan.
Setelah melalui proses panjang dan melelahkan, akhirnya H La Ode Muhammad Jafar SH, mantan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi (PT) Sultra terpilih menjadi Sultan Buton. Pengumuman terpilihnya LM Jafar  jadi Sultan Buton ke-39 tersebut melalui upacara ritual Sokaiana Pau oleh Bonto Ogena Lembaga Adat Kesultanan Buton, Drs H Siradjudin Anda di halaman Masjid Agung Keraton Buton, Desember 2011 dan perencanaan pelantikan pada bulan Februari 2012. Pada prosesi upacara ritual Sokaiana Pau ini, Siradjudin Anda, mengumumkan terpilihnya LM Jafar menjadi Sultan Buton, dihadiri Gubernur H Nur Alam SE diwakili Asisten II Sekprov Sultra, Ir. Zuhuri Mahmud, para ketua DPRD se-wilayah Kesultanan Buton, dan perangkat adat kesultanan Buton.
Terpilihnya LM Jafar menjadi Sultan Buton, menurut Siradjudin, sudah prosedur dan tidak boleh diganggu gugat lagi, karena sudah melalui penjaringan para calon yang merupakan keturunan bangsawan. Yakni, golongan Lalaki (kaumu) Tanailandu anak turunan La Elangi pada waktu itu menjabat Sultra ke-IV, golongan Lalaki (kaumu) Tapi-Tapi anak dari La Singga menjabat Sapati, dan golongan Lalaki (kaumu) Kumbewaha anak turunan dari La Bula menjabat Kenepulu.
Ketiga turunan bangsawan tersebut dikenal dengan sebutan lain, yakni Lalaki Talumiana. Kamborumboru Talupalena inilah memiliki hak menjadi Sultan Buton. Keberadaan tiga cabang golongan kaomu (Lalaki) tersebut pembeda proses penentuan Sultan/pemimpin di Kesultanan Buton dengan kerajaan lain. 
Biasanya, Sultan ditetapkan berdasarkan putra mahkota/garis genetik, maka di Kesultanan Buton seorang Sultan ditetapkan melalui proses pemilihan yang dilakukan Bonto Siolimbona dari golongan Wakaka (ama/bapak) yang mewakili 9 daerah, yakni Bontona Baluwu, Peropa, Gundu-gundu, Barangkatopa, Gama, Siompu, Wandailolo, Rakia dan Bonto Melai. Dengan kata lain, seorang putra Sultan tidak secara otomatis menjadi Sultan.
Kriteria lain, seperti termuat dalam Buku Tata Cara Pencalonan dan Pengukuhan Sultan Buton (Laki Wolio), diantaranya, berasal dari golongan kaumu Kamborumboru Talupalena, Laki-laki, sehat jasmani dan rohani, memiliki sifat-sifat Nabi Muhammad, yaitu bersifat Siddiq serta berbagai kriteria lain. Terpilihnya LM Jafar SH menjadi Sultan Buton sudah prosedur dan tidak boleh diganggu gugat lagi. Karena proses pemilihan melalui lembaga adat kesultanan yang resmi dan diakui semua komponen.
Sebelum pengumuman Sultan Buton terpilih, Pemuka Agama Masjid Agung Keraton Buton membacakan ayat-ayat suci Alquran, dilanjutkan pernyataan sikap Kapitalao dan Sapati, bahwa terpilihnya Sultan Buton sudah final dan tidak boleh diganggu gugat. Pelantikan sultan dimulai 3 bulan setelah di umumkannya sultan yang terpilih.
      Tata cara Pelantikan Sultan Buton Pasca Revormasi
Bontona Gampikaro Matanaeo, Drs Arif Tasila, yang juga ketua seksi ritual adat pada penobatan Sultan Buton ke-39 ini menceritakan tahap-tahap Bulilinganiaya Pau Laki Wolio (pelantikan Sultan Buton). Menurutnya, setelah masa seratus dua puluh hari setelah Sokaiana Pau (pengukuhan nama Sultan hasil seleksi), maka pada kamis sore Bhatu Wolio (Bhatu YGandangi) yang berada di Lele Mangura (masih di dalam kompleks Masjid Keraton) di beri kelambu.
            Dari Tobhe-Tobhe membawa air dari tingko (tombula), bhancana kaluku bula, serta bancana pangana  yang pada malam jum’at sebelum pelantikan, keduanya tadi di sandingkan di Bhatu Wolio (Bhatu YGandangi) di Lele Mangura dan semalam suntuk rakyat Tobhe-Tobhe menabuh gendang dan gong di tempat itu. Besok pagi hari Jum’at prosesi adat di mulai diawali ke empat Patalimbona (Bhontona Bhaaluwu, Bhontona Peropa, Bhontona Gundu Gundu dan Bhontona Bharangkatopa) berkumpul di rumah Bhontona Peropa.  Rombongan Patalimbona ini di dampingi oleh Galangi,  Tamburu (kompanyia) Pataanguna yaitu  (Bhaaluwu Peropa, Gundu-Gundu, dan Bharangkatopa), dan delapan orang laki laki dan delapan orang perempuan anak Bhaaluwu Peropa (anak-anak dari kaum walaka) sebagai pembawa air (tambia) maupun perlengkapan lainnya.
     Rombongan ini di pimpin oleh Patalimbona  menuju Bhatu Wolio (Bhatu yi Gandangi) untuk mengambil air.  Sepanjang jalan tamburu di bunyikan. Sesampainya di Bhatu Wolio (Bhatu YGandangi) di awali dengan Galangi prosesi adat pengambilan air di mulai. Setelah itu Tingko air dan Bhancana Kaluku Bula serta Bancana Pangana satu persatu oleh Bhontona Peropa di serahkan kepada ke enambelas anak Bhaaluwu- Peropa dan diakhiri dengan pembacaan do’a selamat.
      Dari Bhatu Wolio selanjutnya rombongan Patalimbona langsung  ke rumah calon sultan (kamali) untuk di mandikan. Di kamali sudah menunggu ( 11 ) sebelas orang Bhonto ynunca masing masing bersama istri. Setibanya rombongan itu maka Bhontona Dlete dan Bhontona Katapi melaporkan kepada calon Sultan sebagai berikut : “Akawamo opua miu Bhaaluwu Peropa”artinya( sudah tiba kakekmu bhaluwu peropa). Calon sultan turun dari Galampa  atau tempat bersemayam dengan pakaian Baju Bodo dengan kancing emas, Destar (Bewe Betaawi), badik atau keris, sarung
     Dalam prosesi memandikan ini calon sultan diperlakukan seperti anak kecil  yang tidak bisa berbuat apa-apa dan kerjanya hanya menangis dan tertawa. Pada saat di mandikan Bhontona Peropa berada di sebelah kanan, Bhontona Bhaaluwu disebelah kiri, Bhontona Gundu-Gundu di depan dan Bhontona Bharangkatopa di belakang calon sultan. Semua perlengkapan sultan waktu di mandikan, sarung segalanya di tinggalkan dan di ambil oleh Bhaaluwu Peropa. Pakaian untuk persalinan di timang oleh Bhontona Kalau dan Bhontona Waberongalu.
Setelah pemandian, maka Bhontona Gundu Gundu membuka bhancana kaluku bula dan bancana pangana, memisahkannya dari seludangnnya dan bhanca itu di kipas kipaskan dibelakang sultan oleh Bhontona Bharangkatopa, sebelah kiri delapan kali dan sebelah kanan sembilan kali turun naik.
Pada saat dimandikan,  calon sultan diberi bedak (burati) pada bagian dahinya oleh Patalimbona. Bedak (bura) itu dibuat dari ( 120 ) seratus dua puluh macam  bahan dengan rasa yang berbeda  yang di olah di kediaman Bhontona Peropa oleh isteri dari patalimbona. Dalam proses tandea ini Bhontona Peropa berkata (artinya) “dengarkan laode rasa pedis dan segala rasa yang tidak menyenangkan ataupun rasa yang sangat menyenangkan sebagaimana rasa yang ada pada seratus dua puluh macam bahan bedak tadi saya tandai kamu La Ode, jangan kamu kerjasamakan negeri ini dengan pendatang ataupun semacamnya untuk menghancurkan negeri ini, jangan kamu berikan destar dikepalamu dalam arti sebagai pemimpin dan penguasa kamu gunakan kekuasaanmu untuk maksud kejahatan terhadap negeri ini, apabila kamu lalaikan semua itu kamu melebur serta lenyap dan hancur binasa  anakmu dan anaknya bhaluwu peropa” .
            Selanjutnya, setelah patalimbona selesai mengganti pakaian maka setelah tiba saatnya Patalimbona  berangkat ke bharuga membawa parinta (alat-alat kerajaan). Menjelang pelaksanaan shalat Jum’at  Bhonto Ogena memerintahkan Sapati dengan bahasa adat  (artinya): “yang  mulia Sapati, kiranya segera utus penjemput calon sultan kakakmu”. Maka berangkatlah utusan Kalawati (penjemput) kerumah calon Sultan yang terdiri dari delapan orang Bhonto dan delapan orang Bobato yang di iringi rombongan tamburu sambil dibunyikan. Setelah itu calon Sultan di bawa ke baruga untuk kemudian di lantik di batu Popaua.
   Pandangan Masyarakat Terhadap Pemilihan Sultan Buton Tahun 2011
Menurut kabid budaya Dinas Pariwisata Kota Baubau H. Razinudin, mengatakan bahwa ketika di adakan pemilihan kembali Sultan Buton banyak masyarakat yang mendukung program tersebut. Di satu sisi mereka berbangga ketika Sultan Buton dipilih namun di sisi lain mereka memandang bahwa adanya program pemilihan hanyalah sebuah formalitas untuk kepentingan politik daerah yakni untuk mendukung kegiatan Festival Keraton Nusantara (Wawancara, 10 November 2015). Masyarakat juga memahami bahwa terpilihnya Sultan hanya sebagai melestarikan kembali sejarah dan budaya lokal bukan untuk menjalankan sistem pemerintahan seperti kesultanan pada masa sebelum NKRI.
Menurut beliau, ada satu hal yang membuat banyak masyarakat lokal dari seluruh lapisan  menjadi bingung tentang mekanisme pemilihan Sultan yang baru. Ketika LM. Jafar resmi dimakzulkan maka dipilih lah Dr. Izat Manarfa sebagai Sultan selanjutnya (ke-40). Pada saat prosesi pelantikan terjadi insiden yakni seorang dari kubu Sultan sebelumnya Sultan ke-39, tidak menyetujui pemilihan tersebut. Orang yang tidak mau disebutkan namanya oleh  narasumber berpendapat, hal itu tidak di benarkan karena tidak ada alasan yang jelas untuk sultan sebelumnya dimakzulkan. Ketidak terimaan ini sempat membuat proses pelantikan sedikit tertunda namun setelah negosiasi maka keadaan dapat berlangsung dengan baik kembali. Walaupun pemilihan Sultan ke-40 sama dengan Sultan sebelumnya namun tidak seperti LM. Jafar yang di terima dan dikui semua pihak, pelantikan Dr. Izat Manarfa masih ada segelintir orang yang kontra dengan proses ini.
Dari hasil wawancara, informasi tentang insiden ini tidak terlalu didapat dengan baik oleh penulis, karena para informan yang diwawancara menolak secara halus untuk memberikan keterangan detail dengan alasan mereka masing-masing.
Pendapat masyarakat luas tentang pelantikan Sultan adalah untuk menghidupkan kembali budaya dan sejarah kesultanan Buton, maka alangkah tidak indah ketika masing-masing saling mengklaim atas kekuasaan, akan menjadi lebih baik jika bersatu dalam mengembangkan budaya tradisional kita. Dalam pandangan awam ada dua kubu yang sempat berseteru, kubu pertama adalah kubu yang telah banyak dikenal dan bersosialisasi di daerah dan keraton lain di Nusantara, sedangkan kubu kedua adalah kubu yang baru mengkalaim bahwa merekalah yang harusnya memegang posisi Sultan dengan alasan yang rasional bagi mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2002. Prosedur Pendidikan Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta
Basri, Seta.  2011. Pengantar Ilmu Politik Dan Demokrasi.  Yogyakarta :
Indie Book Cerner Yogyakarta 
Budarjo, Meriam. 1982. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta :
Gramadia Jakarata
Depdiknas.2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga).Pusat Bahasa,
Jakarta:Balai Pustaka
Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. (Diterjemahkan Oleh Nugroho                                     Notosusanto 1978). Cetakan Kelima. Jakarta: UI-Press.
Liebner, Horst. 1990. Istilah-Istilah Kemaritiman Dalam Bahasa-Bahasa Buton. Porsiding konfrensi dan seminar Nasional ke-5 Masyarakat Linguistik Indonesia Proyek Kerja Sama Unhas: Ujung Pandang (Makassar). SIL
Ligtvoet, A. 1878.“Bescrijving en Geschiedenis Van Buton” halaman 1-112 .Bijdragen Tot de Taal,- Land-en Volkenkunde:BKI
Rudyansyah, Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah & Tindakan (Sebuah Kajian Tentang Lanskap Budaya). Jakarta: Rajagrafindo Persada
Schoorl,Pim.2003. Masyarakat Sejarah dan Budaya Buton.Jakarta:
Djambatan bekerja sama dengan Perwakilan KITLV-Jakarta.
La Niampe. 2009. Hikayat Negeri Buton (Sasra Sejarah). Kendari:
                        FKIP Unhalu
Yunus, Abd. Rahim. 1995. Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19. Jakarta: INIS (Seri INIS XXIV).
Zahari, A. M. 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton Jilid I,II,III). Jakarta:Proyek Pengembangan Media Kebudayaan DEPDIKBUD.
Zuhdi, Susanto. 2010. Sejarah Buton Yang Terabaikan (Labu Rope Labu Wana).Jakarta: Rajagrafindo persada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEDATANGAN MIA PATAMIANA DI PULAU BUTON

  KEDATANGAN MIA PATAMIANA DI PULAU BUTON Sejarah peradaban pulau buton tidak terlepas dari peran para pendatang melalui jalur laut seba...