Sejarah awal dibentuknya
Kerajaan Buton (tahun 1332) adalah merupakan penyatuan dari beberapa
Kerajaan kecil, namun yang istimewa disini yaitu Penunjukan Raja Buton
pertama, Dimana Raja pertama yang diangkat adalah seorang Wanita yang bukan
berasal dari beberapa Kerajaan tersebut, sedangkan Raja dari beberapa Kerajaan
itu lalu diangkat menjadi Mentri (Bonto).
Dapat diartikan bahwa dimata beberapa Raja dan rakyat dari Kerajaan tersebut,
mereka melihat adanya sifat kepemimpinan dan kewibawaan serta keteladanan
yang dimiliki Ratu Wa Ka kaa yang melebihi mereka, sehingga ia dipilih secara aklamasi menjadi Raja/Ratu pertama bagi
Kerajaan Buton (Zahari, 1977: 21-25). Di samping itu, Kerajaan Buton dengan Raja
pertama adalah seorang wanita, ini menandakan antara wanita dan pria memiliki
hak dan kedudukan yang sama sebagai seorang pemimpin. Pengangkatan Ratu Wa
kakaa menunjukkan adanya system demokrasi
yang luar biasa. Begitupula dengan pengangkatan Raja ke-VI Lakilaponto (1521), yang selanjutnya menjadi Sultan
Buton pertama (1541/948 H) yang juga mengubah status Kerajaan menjadi Kesultanan.
Pengangkatannya sebagai sebagai seorang Raja disebabkan karena jasanya dalam
menumpas Armada perang La Bolontio, yang kerap mengganggu Kerajaan Buton
(Zahari, 1977:
47).
Sama halnya dengan Kerajaan-Kerajaan lain yang
terdapat di Nusantara, dimana jabatan
Raja/Sultan diwariskan kepada generasinya di Buton pun status Raja diturunkan
berdasarkan hirarki anak. Hal ini berlangsung dari raja ke-dua hingga Raja ke-empat, selanjutnya yang menjabat adalah
kemenakan Raja
Tua Rade yakni Raja Mulae (Raja Buton ke-lima). Namun pada sistem pemerintahan Kesultanan Buton,
Sultan dipilih berdasarkan sistem pemilihan Demokrasi,
walaupun pada dasarnya Sultan yang dipilih hanya berdasarkan satu
golongan tertentu. Sistem pemilihan ini dilakukan dengan calon yang disiapkan dari
golongan “kaomu” dengan tiga cabang keluarga (Kamboru-mboru (lalaki)
Talupalena = tiga tiang penyangga). Kerajaan/Kesultanan Buton telah
menunjukkan sistem demokrasi jauh
sebelum Negara demokrasi lahir.
Setiap
kelompok masyarakat dimanapun berada senantiasa mempunyai pandangan (filosofi)
dalam kehidupan. Filosofi ini berlandaskan keyakinan yang dianutnya baik
itu agama bumi maupun agama langit (samawi).
Nilai-nilai kearifan ini tidak saja terpandang sebagai suatu ide tetapi
selanjutnya diwujudkan dengan hasil karya nyata baik dalam kehidupan secara
pribadi, bermasyarakat maupun Bernegara. Sultan, Sapati,
Kenepulu, Kapitalau, Bonto Ogena, Siolimbona, Bobato, Bobato Siolipuna, Bobato
Bana Meja, Bobato Mancuana yang terhimpun dalam
struktur pemerintahan Kesultanan Buton, wilayah dan kekuasaannya telah berakhir
ketika pemerintahan swpraja
ditiadakan tahun 1960 (Zahari, 1977: 34). Namun dalam
perspektif budaya kebesaran dan kewibawaan tatanan pemerintahan masih
dibutuhkan pada era otonomi daerah dewasa ini. Pangka (orang yang memiliki kedudukan) demikian sebutan bagi
pejabat tinggi Negara yang bertindak sebagai pimpinan tradisional dalam
struktur pemerintahan Kesultanan Buton ketika itu sudah jarang terdengar dan
nama itu sudah tidak bersahabat lagi dengan keseharian kita. Nama jabatan terhormat dan sakral pada masa lalu ini
terancam menghilang dari memori kolektif dan perbincangan kita
sehari-hari. Nama-nama jabatan tersebut sudah asing ditelinga kita dan
bahkan pengalaman kolektif ini sudah tidak dikenal lagi dikalangan generasi
muda.
Berdasarkan arsip dan naskah Kerajaan/Kesultanan Buton
adalah sebuah Kerajaan yang berdaulat yang berdiri pada pertengahan abad ke 14 dan mengubah
status pemerintahannya menjadi Negara Kesultanan pada tanggal 1 Ramadan tahun
948 H (1541 M) ketika itu agama Islam resmi diterima sebagai agama
Negara (Rudyansjah, 2009: 32).. Dari sumber-sumber berupa kabenci-kabenci (naskah-naskah) dan tula-tula (oral tradisional) yang
tersimpan dalam berbagai bahasa dan versi menorehkan berbagai informasi
keagungan dan kejayaan Kerajaan/Kesultanan Buton di masa lampau. .
Wilayah kekuasaan Kerajaan/Kesultanan Buton terdiri dari
pusat dan daerah dengan pusat pemerintahan adalah Wolio (sekarang Kota Baubau)
dan daerah kekusaaan terdiri dari Barata
dan Kadie yang meliputi gugusan
kepulauan dikawasan bagian tenggara jazirah Sulawesi Tengggara yang terdiri
dari Pula Buton, Pulau Muna, Pulau Kabaena, Pulau-Pulau Tiworo, Tikola, Tobeya,
Tobeya Besar dan Tobeya Kecil, Pulau Makassar, Pulau Kadatua, Masiri, dan Pulau
Siompu, Pulau Talaga Besar, Pulau Talaga Kecil, Poleang, Rumbia, Pulau Wawonii,
Pulau Wanci, Pulau Tomia dan Pulau Binongko. Dari keseluruhan wilayah
terdapat 72 Kadie dan 4 wilayah Barata. Adapun empat wilayah Barata adalah Barata Tiworo, Barata Kolencusu, Barata Muna dan Barata Kaedupa (Zahari, 1997: 19).
Benteng Keraton Buton adalah bekas
peninggalan Kesultanan Wolio/Buton dan biasa disebut Benteng Keraton Wolio. Benteng
Keraton ini juga masuk Guiness of Record tahun 2006 dan rekor MURI sebagai
benteng terluas di dunia. Panjang keliling benteng tersebut 3 kilometer dengan
tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (tebal) 2 meter.
Bangunannya terdiri atas susunan batu gunung
bercampur kapur dengan bahan perekat dari agar-agar, sejenis rumput laut. Luas
seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng meliputi 401.911 meter persegi.
Area yang demikian luas itu mengalahkan benteng terluas di dunia sebelumnya
yang berada di Denmark. Dengan demikian, Benteng Keraton tercatat sebagai yang
terluas di dunia. Di dalam kompleks benteng melingkupi satu wilayah kelurahan,
dengan nama kelurahan Melai, dan tercatat sebagai salah satu kawasan terpadat
di kota ini.
Banyak
objek menarik di dalam benteng Keraton Wolio itu. Di sana ada batu popaua,
masjid agung, makam Sultan Murhum (Sultan Buton pertama), Istana Badia, dan
meriam-meriam kuno. Di dalam kawasan benteng terdapat permukiman penduduk yang
merupakan pewaris keturunan dari para keluarga bangsawan Keraton Buton masa
lalu. Di tempat ini juga terdapat situs peninggalan sejarah masa lalu yang
masih tetap terpelihara dengan baik. Di tengah benteng terdapat sebuah masjid
tua dan tiang bendera yang usianya seumur masjid. Yang dibangun pada masa
pemerintahan Sultan Buton III La Sangaji Sultan Kaimuddin atau dikenal dengan
julukan ‘Sangia Makengkuna’ yang memegang takhta antara tahun 1591-1597.
Benteng
ini memiliki panjang 2.740 meter yang mengelilingi perkampungan adat asli Buton
dengan rumah-rumah tua yang tetap terpelihara hingga saat ini. Masyarakat yang
bermukim di kawasan benteng ini juga masih menerapkan budaya asli yang dikemas
dalam beragam tampilan seni budaya yang kerap ditampilkan pada upacara upacara
adat.
Tetapi, ada sedikit bau mistik di dalam
masjid tua itu. Di belakang mimbar khatib atau di ujung kepala imam tatkala
dalam keadaan sujud terdapat pintu gua yang disebut ”pusena tanah” (pusat bumi)
oleh orang-orang tua di Buton. Konon dari dalam gua itu keluar suara azan pada
suatu hari Jumat. Peristiwa itu menjadi latar belakang pendirian masjid di
tempat tersebut. Ketika masjid itu
direhabilitasi pada tahun 1930-an, pintu gua tadi ditutup dengan semen sehingga
ukurannya lebih kecil menjadi sebesar bola kaki. Lubangnya diberi penutup dari
papan yang bisa dibuka oleh siapa yang ingin melihat pintu gua itu.
Di salah sebuah kamar Kamali (istana) Badia,
masih di kompleks keraton, terdapat meriam bermoncong naga. Meriam bersimbol
naga tersebut dibawa leluhurnya Wakaa-kaa dari Tiongkok sekitar 700 tahun
silam. Meriam itu masih memiliki peluru dan masih bisa diledakkan. Kamali Badia
itu sendiri tidak lebih dari rumah konstruksi kayu khas Buton sebagaimana rumah
anjungan Sultra di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Sesuai tradisi, rumah
atau istana Kesultanan Buton harus dibuat keluarga sultan dengan biaya sendiri.
Khusus Benteng Keraton Buton yang aslinya
disebut Keraton Wolio dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton VI
(1632-1645), bernama Gafurul Wadudu. Benteng ini berbentuk huruf dhal dalam alpabet Arab yang diambil
dari huruf terakhir nama Nabi Muhammad SAW. Benteng Keraton Wolio memiliki 12
pintu gerbang dan 16 pos jaga (bastion). Tiap pintu gerbang (lawa) dan bastion
dikawal empat sampai enam meriam. Pada pojok kanan sebelah selatan terdapat
godana-oba (gudang mesiu) dan gudang peluru di sebelah kiri. Konon pada masa
pembuatan benteng keraton ini bahan baku utama yang digunakan adalah batu-batu
gunung yang disusun rapi dengan kapur dan rumput laut (agar-agar) serta putih
telur sebagai bahan perekat.
Tata
Cara Proses Pemilihan Sultan Buton Pasca Reformasi
Dalam pemilihan Sultan di Buton tentunya di hiasi
dengan adat dan tata cara tertentu yang dilakukan sejak zaman keemasan
kesultanan hingga berakhirnya sistem kesultanan dan Buton bergabung dengan
NKRI. Kemudian pada tahun 2011 lembaga adat kesultanan Buton atas izin dari
pemerintah membentuk kembali sistem kesultanan dengan memilih Sultan yang baru.
Dari hasil wawancara menurut Drs. H Sirajuddin Anda, mengatakan tak ada
perbedaan dalam proses pemilihan maupun pelantikan dalam pengukuhan Sultan
Buton ke-39 tahun 2011 dengan pengukuhan Sultan di era Kesultanan hanya saja
menurut beliau, pemilihan Sultan pada masa lalu berfungsi sebagai pemimpin
jalannya pemerintahan sedangkan pada saat ini hanya sebatas kepentingan politik
dan daerah yakni untuk mendukung Festival Keraton Nusantara dan
kepentingan-kepentingan daerah lainnya.
Dalam pemilihan Sultan terdapat 4 tahap yang di
lakukan oleh Sio Limbona yakni; penjaringan (tiliki), penyaringan (Kambojai), Fali,
Sokaiana pau, yang setelah semuanya terlaksana maka dilaksanakanlah
Bulilingiana pau.
1. TILIKI
; maksudnya adalah meneliti, menyaring calon/figur dari kamboru-mboru
talupalena yaitu perwakilan dari kaum Tanailandu, kaum Tapitapi dan kaum
Kumbewaha. Setiap kamboru-mboru diawasi dan diteliti oleh 3 orang siolimbona,
masing masing : Bontona peropa, bontona gundu-gundu dan bontona rakia meneliti
figur dari kaum Tanailandu. Bontona baluwu, bontona barangka topa dan bontona
wandailolo meneliti figur dari kaum Tapitapi. Bontona Gama, bontona siompu dan
bontona melai meneliti figur dari kaum Kumbewaha. Dari hasil penyaringan mereka
melahirkan 3 orang calon/figur dan selanjutnya figur tersebut dilaporkan kepada
bonto ogena (abawamo katange), dalam bahasa adat disebut "daangia kokompoakea
baaluwu te peropa).
2. KAMBOJAI ; maksudnya setelah bonto ogena menerima figur yang dilaporkan oleh
siolimbona, tidak serta merta diterima atau ditetapkan (pasoa), tetapi masih
dikembalikan untuk ditinjau kembali, dirapatkan dengan para yarona bonto dan
yarona bobato, siapa tahu masih ada figur yang terlupakan sementara layak untuk
dicalonkan menjadi sultan.
3. FALI
; prosesi ini maksudnya adalah pelaksanaan penetapan calon sultan secara
agama/religi di dalam masjid agung keraton oleh imam mesjid dan bhisa patamiana
yang diawali dengan shalat sunat istighara pada pukul 24.00 tengah malam. Setelah
itu dibukakan Alquran pada juz 15 (pusena qura'ani walya thalatttaf),
selanjutnya membuka 7 lembar bagian kanan dan 7 lembar bagian kiri untuk
mencari huruf yang terbanyak sesuai nama calon/figur sultan. Calon yang
terbanyak huruf namanya terdapat dalam lembaran Alquran yang dibuka tadi dan
berdasarkan petunjuk dari Allah SWT (biasanya ada tanda sebagai petunjuk), maka
dialah yang ditetapkan sebagai Sultan Buton dan 2 calon lainnya diangkat
sebagai sapati dan kenepulu.
4. SOKAIANA
PAU ; maksudnya penyampaian hasil Fali kepada khalayak bahwa Sultan Buton telah
ditetapkan dan tidak dapat diganggu gugat.
Sedangkan BULILINGIANA PAU ; maksudnya adalah
upacara pelantikan sultan terpilih yang ditetapkan pada hari jumat setelah
pelaksanaan shlat jumat. Sultan terpilih diarak menuju batu popaua sebagai
tempat pelantikan sultan dengan putaran payung 7 kali ke kanan dan 7 kali
kekiri yang diawali dgn kata-kata sumpah (sumpana tana wolio). Apabila
penunjukan dan pengangkatan seorang Sultan Buton tdk melalui proses dan
mekanisme seperti di atas maka berarti keberadaannya diragukan dan bisa
dianggap ilegal atau melecehkan adat dan budaya leluhur di tanah Buton. Dalam
proses penyaringan saat ini menggunakan lembaga adat yang sudah dirundingkan
dan sudah ditentukan siapa-siapa yang akan dicalonkan.
Setelah melalui proses panjang dan melelahkan,
akhirnya H La Ode Muhammad Jafar SH, mantan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi (PT)
Sultra terpilih menjadi Sultan Buton. Pengumuman terpilihnya LM Jafar jadi Sultan Buton ke-39 tersebut melalui
upacara ritual Sokaiana Pau oleh Bonto Ogena Lembaga Adat Kesultanan Buton, Drs
H Siradjudin Anda di halaman Masjid Agung Keraton Buton, Desember 2011 dan
perencanaan pelantikan pada bulan Februari 2012. Pada prosesi upacara ritual
Sokaiana Pau ini, Siradjudin Anda, mengumumkan terpilihnya LM Jafar menjadi
Sultan Buton, dihadiri Gubernur H Nur Alam SE diwakili Asisten II Sekprov
Sultra, Ir. Zuhuri Mahmud, para ketua DPRD se-wilayah Kesultanan Buton, dan
perangkat adat kesultanan Buton.
Terpilihnya LM Jafar menjadi Sultan Buton, menurut
Siradjudin, sudah prosedur dan tidak boleh diganggu gugat lagi, karena sudah
melalui penjaringan para calon yang merupakan keturunan bangsawan. Yakni,
golongan Lalaki (kaumu) Tanailandu anak turunan La Elangi pada waktu itu
menjabat Sultra ke-IV, golongan Lalaki (kaumu) Tapi-Tapi anak dari La Singga
menjabat Sapati, dan golongan Lalaki (kaumu) Kumbewaha anak turunan dari La
Bula menjabat Kenepulu.
Ketiga turunan bangsawan tersebut dikenal dengan
sebutan lain, yakni Lalaki Talumiana. Kamborumboru Talupalena inilah memiliki
hak menjadi Sultan Buton. Keberadaan tiga cabang golongan kaomu (Lalaki)
tersebut pembeda proses penentuan Sultan/pemimpin di Kesultanan Buton dengan
kerajaan lain.
Biasanya, Sultan ditetapkan berdasarkan putra
mahkota/garis genetik, maka di Kesultanan Buton seorang Sultan ditetapkan
melalui proses pemilihan yang dilakukan Bonto Siolimbona dari golongan Wakaka
(ama/bapak) yang mewakili 9 daerah, yakni Bontona Baluwu, Peropa, Gundu-gundu, Barangkatopa,
Gama, Siompu, Wandailolo, Rakia dan Bonto Melai. Dengan kata lain, seorang
putra Sultan tidak secara otomatis menjadi Sultan.
Kriteria lain, seperti termuat dalam Buku Tata Cara
Pencalonan dan Pengukuhan Sultan Buton (Laki Wolio), diantaranya, berasal dari
golongan kaumu Kamborumboru Talupalena, Laki-laki, sehat jasmani dan rohani,
memiliki sifat-sifat Nabi Muhammad, yaitu bersifat Siddiq serta berbagai
kriteria lain. Terpilihnya LM Jafar SH menjadi Sultan Buton sudah prosedur dan
tidak boleh diganggu gugat lagi. Karena proses pemilihan melalui lembaga adat
kesultanan yang resmi dan diakui semua komponen.
Sebelum pengumuman Sultan Buton
terpilih, Pemuka Agama Masjid Agung Keraton Buton membacakan ayat-ayat suci Alquran,
dilanjutkan pernyataan sikap Kapitalao dan Sapati, bahwa terpilihnya Sultan
Buton sudah final dan tidak boleh diganggu gugat. Pelantikan sultan dimulai 3
bulan setelah di umumkannya sultan yang terpilih.
Tata
cara Pelantikan Sultan Buton Pasca Revormasi
Bontona Gampikaro Matanaeo, Drs Arif
Tasila, yang juga ketua seksi ritual adat pada penobatan Sultan Buton ke-39 ini
menceritakan tahap-tahap Bulilinganiaya Pau Laki Wolio (pelantikan Sultan
Buton). Menurutnya, setelah masa seratus dua puluh hari setelah Sokaiana Pau
(pengukuhan nama Sultan hasil seleksi), maka pada kamis sore Bhatu Wolio (Bhatu
YGandangi) yang berada di Lele Mangura (masih di dalam kompleks Masjid Keraton)
di beri kelambu.
Dari
Tobhe-Tobhe membawa air dari tingko (tombula), bhancana kaluku bula, serta
bancana pangana yang pada malam jum’at sebelum pelantikan, keduanya tadi
di sandingkan di Bhatu Wolio (Bhatu YGandangi) di Lele Mangura dan semalam
suntuk rakyat Tobhe-Tobhe menabuh gendang dan gong di tempat itu. Besok pagi hari
Jum’at prosesi adat di mulai diawali ke empat Patalimbona (Bhontona Bhaaluwu,
Bhontona Peropa, Bhontona Gundu Gundu dan Bhontona Bharangkatopa) berkumpul di
rumah Bhontona Peropa. Rombongan Patalimbona ini di dampingi oleh
Galangi, Tamburu (kompanyia) Pataanguna yaitu (Bhaaluwu Peropa,
Gundu-Gundu, dan Bharangkatopa), dan delapan orang laki laki dan delapan orang
perempuan anak Bhaaluwu Peropa (anak-anak dari kaum walaka) sebagai pembawa air
(tambia) maupun perlengkapan lainnya.
Rombongan ini di pimpin oleh Patalimbona menuju Bhatu Wolio (Bhatu yi Gandangi)
untuk mengambil air. Sepanjang jalan tamburu di bunyikan. Sesampainya di
Bhatu Wolio (Bhatu YGandangi) di awali dengan Galangi prosesi adat pengambilan
air di mulai. Setelah itu Tingko air dan Bhancana Kaluku Bula serta Bancana Pangana
satu persatu oleh Bhontona Peropa di serahkan kepada ke enambelas anak
Bhaaluwu- Peropa dan diakhiri dengan pembacaan do’a selamat.
Dari Bhatu Wolio selanjutnya rombongan Patalimbona langsung ke rumah
calon sultan (kamali) untuk di mandikan. Di kamali sudah menunggu ( 11 )
sebelas orang Bhonto ynunca masing masing bersama istri. Setibanya rombongan
itu maka Bhontona Dlete dan Bhontona Katapi melaporkan kepada calon Sultan
sebagai berikut : “Akawamo opua miu Bhaaluwu Peropa”artinya( sudah tiba kakekmu
bhaluwu peropa). Calon sultan
turun dari Galampa atau tempat bersemayam dengan pakaian Baju Bodo dengan
kancing emas, Destar (Bewe Betaawi), badik atau keris, sarung
Dalam prosesi memandikan ini calon sultan diperlakukan seperti anak kecil
yang tidak bisa berbuat apa-apa dan kerjanya hanya menangis dan tertawa. Pada
saat di mandikan Bhontona Peropa berada di sebelah kanan, Bhontona Bhaaluwu
disebelah kiri, Bhontona Gundu-Gundu di depan dan Bhontona Bharangkatopa di
belakang calon sultan. Semua perlengkapan sultan waktu di mandikan, sarung
segalanya di tinggalkan dan di ambil oleh Bhaaluwu Peropa. Pakaian untuk
persalinan di timang oleh Bhontona Kalau dan Bhontona Waberongalu.
Setelah pemandian, maka Bhontona Gundu Gundu membuka bhancana kaluku bula
dan bancana pangana, memisahkannya dari seludangnnya dan bhanca itu di kipas
kipaskan dibelakang sultan oleh Bhontona Bharangkatopa, sebelah kiri delapan
kali dan sebelah kanan sembilan kali turun naik.
Pada saat dimandikan, calon sultan diberi bedak (burati) pada bagian
dahinya oleh Patalimbona. Bedak (bura) itu dibuat dari ( 120 ) seratus dua
puluh macam bahan dengan rasa yang berbeda yang di olah di kediaman
Bhontona Peropa oleh isteri dari patalimbona. Dalam proses tandea ini Bhontona
Peropa berkata (artinya) “dengarkan laode rasa pedis dan segala rasa yang tidak
menyenangkan ataupun rasa yang sangat menyenangkan sebagaimana rasa yang ada
pada seratus dua puluh macam bahan bedak tadi saya tandai kamu La Ode, jangan
kamu kerjasamakan negeri ini dengan pendatang ataupun semacamnya untuk
menghancurkan negeri ini, jangan kamu
berikan destar dikepalamu dalam arti sebagai pemimpin dan penguasa kamu gunakan
kekuasaanmu untuk maksud kejahatan terhadap negeri ini, apabila kamu lalaikan
semua itu kamu melebur serta lenyap dan hancur binasa anakmu dan anaknya
bhaluwu peropa” .
Selanjutnya, setelah patalimbona selesai mengganti pakaian maka setelah tiba
saatnya Patalimbona berangkat ke bharuga membawa parinta (alat-alat
kerajaan). Menjelang pelaksanaan shalat Jum’at Bhonto Ogena memerintahkan
Sapati dengan bahasa adat (artinya): “yang mulia Sapati, kiranya
segera utus penjemput calon sultan kakakmu”. Maka berangkatlah utusan Kalawati
(penjemput) kerumah calon Sultan yang terdiri dari delapan orang Bhonto dan
delapan orang Bobato yang di iringi rombongan tamburu sambil dibunyikan.
Setelah itu calon Sultan di bawa ke baruga untuk kemudian di lantik di batu
Popaua.
Pandangan Masyarakat Terhadap
Pemilihan Sultan Buton Tahun 2011
Menurut kabid budaya Dinas Pariwisata Kota Baubau H. Razinudin, mengatakan
bahwa ketika di adakan pemilihan kembali Sultan Buton banyak masyarakat yang
mendukung program tersebut. Di satu sisi mereka berbangga ketika Sultan Buton
dipilih namun di sisi lain mereka memandang bahwa adanya program pemilihan
hanyalah sebuah formalitas untuk kepentingan politik daerah yakni untuk
mendukung kegiatan Festival Keraton Nusantara (Wawancara, 10 November 2015). Masyarakat
juga memahami bahwa terpilihnya Sultan hanya sebagai melestarikan kembali
sejarah dan budaya lokal bukan untuk menjalankan sistem pemerintahan seperti
kesultanan pada masa sebelum NKRI.
Menurut beliau, ada satu hal yang membuat banyak masyarakat lokal dari
seluruh lapisan menjadi bingung tentang
mekanisme pemilihan Sultan yang baru. Ketika LM. Jafar resmi dimakzulkan maka
dipilih lah Dr. Izat Manarfa sebagai Sultan selanjutnya (ke-40). Pada saat
prosesi pelantikan terjadi insiden yakni seorang dari kubu Sultan sebelumnya
Sultan ke-39, tidak menyetujui pemilihan tersebut. Orang yang tidak mau
disebutkan namanya oleh narasumber
berpendapat, hal itu tidak di benarkan karena tidak ada alasan yang jelas untuk
sultan sebelumnya dimakzulkan. Ketidak terimaan ini sempat membuat proses pelantikan
sedikit tertunda namun setelah negosiasi maka keadaan dapat berlangsung dengan
baik kembali. Walaupun pemilihan Sultan ke-40 sama dengan Sultan sebelumnya
namun tidak seperti LM. Jafar yang di terima dan dikui semua pihak, pelantikan
Dr. Izat Manarfa masih ada segelintir orang yang kontra dengan proses ini.
Dari hasil wawancara, informasi tentang insiden ini tidak terlalu didapat
dengan baik oleh penulis, karena para informan yang diwawancara menolak secara
halus untuk memberikan keterangan detail dengan alasan mereka masing-masing.
Pendapat masyarakat luas tentang pelantikan Sultan adalah untuk
menghidupkan kembali budaya dan sejarah kesultanan Buton, maka alangkah tidak
indah ketika masing-masing saling mengklaim atas kekuasaan, akan menjadi lebih
baik jika bersatu dalam mengembangkan budaya tradisional kita. Dalam pandangan
awam ada dua kubu yang sempat berseteru, kubu pertama adalah kubu yang telah
banyak dikenal dan bersosialisasi di daerah dan keraton lain di Nusantara,
sedangkan kubu kedua adalah kubu yang baru mengkalaim bahwa merekalah yang
harusnya memegang posisi Sultan dengan alasan yang rasional bagi mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 2002. Prosedur
Pendidikan Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta
Basri, Seta. 2011.
Pengantar Ilmu Politik Dan
Demokrasi. Yogyakarta :
Indie Book Cerner Yogyakarta
Budarjo, Meriam. 1982. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta :
Gramadia Jakarata
Depdiknas.2008. Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga).Pusat Bahasa,
Jakarta:Balai Pustaka
Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. (Diterjemahkan
Oleh Nugroho Notosusanto
1978). Cetakan Kelima. Jakarta: UI-Press.
Liebner, Horst. 1990. Istilah-Istilah Kemaritiman Dalam
Bahasa-Bahasa Buton. Porsiding konfrensi dan seminar Nasional ke-5
Masyarakat Linguistik Indonesia Proyek Kerja Sama Unhas: Ujung Pandang
(Makassar). SIL
Ligtvoet, A. 1878.“Bescrijving en Geschiedenis Van Buton”
halaman 1-112 .Bijdragen Tot de Taal,- Land-en Volkenkunde:BKI
Rudyansyah, Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah & Tindakan (Sebuah
Kajian Tentang Lanskap Budaya). Jakarta: Rajagrafindo Persada
Schoorl,Pim.2003. Masyarakat Sejarah dan Budaya Buton.Jakarta:
Djambatan bekerja sama dengan Perwakilan KITLV-Jakarta.
La Niampe. 2009. Hikayat Negeri Buton
(Sasra Sejarah). Kendari:
FKIP Unhalu
Yunus, Abd. Rahim.
1995. Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad
ke-19. Jakarta: INIS (Seri INIS XXIV).
Zahari, A. M. 1977. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton
Jilid I,II,III). Jakarta:Proyek Pengembangan Media Kebudayaan DEPDIKBUD.
Zuhdi, Susanto. 2010. Sejarah Buton Yang Terabaikan (Labu Rope
Labu Wana).Jakarta: Rajagrafindo persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar