Sabtu, 08 Oktober 2016

TIPOLOGI ISLAM DI TANAH BUTON


Akhir akhir ini kita mengetahui mulai banyaknya aliran dalam islam . Aliran dalam Islam mulai tampak pada saat perang Siffin (37 H) khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Pada saat tentara ‘Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah maka Mu’awiyah meminta diadakan perdamaian. Sebagian tentara ‘Ali menyetujui perdamaian ini, dan sebagian lagi menolaknya. Kelompok yang tidak setuju ini akhirnya memisahkan diri dari ‘Ali dan membentuk kelompok sendiri yang akhirnya terkenal dengan nama Khawarij. Mereka menganggap Ali, Mu’awiyah dan orang-orang yang menerima perdamaian ini telah berbuat salah (dosa besar) karenanya mereka bukan mukmin lagi dan boleh dibunuh.
Masalah dosa besar ini kemudian menimbulkan 3 aliran teologi dalam Islam yaitu : Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah. Masalah kepemimpinan ini kemudian menyebabkan munculnya kelompok yang menganggap yang berhak adalah Ali dan keturunannya (Syi’ah) dan kelompok yang berseberangan dengannya (Ahlus Sunnah wal Jama’ah).Dan akibat pengaruh agama lain dan filsasat pada umat Islam maka muncullah kelompok yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkendak dan perbuatannya (Qadariyyah) dan kelompok yang berpendapat sebaliknya (Jabariyyah). Setelah itu banyak bermunculan aliran-aliran baru dalam agama Islam.
Yang perlu diperhatikan disini, bahwa perselisihan yang terjadi pada masalah keyakinan pada umat Islam pada zaman dahulu tidaklah pada inti dari keyakinan (lubbul ‘aqidah), tetapi masalah-masalah filsafat dan sama sekali tidak menyentuh inti keyakinan seperti keesaan Allah, Iman kepada para rasul dan hari akhir, iman kepada malaikat, dan bahwa yang diberitakan oleh Nabi Muhammad adalah benar. Namun pada saat ini munculnya aliran di islam bukan hanya perbedaan filsafah tapi sudah menyentuh inti keyakinanan (lubbul ‘aqidah) itu. Bahkan banyak diantara aliran ini menyimpang dari ajaran islam . hal ini pun terjadi di indonesia. Walaupun demikian, Dari banyaknya aliran yang berkembang di Indonesia,  tipologi pemahaman konsep islam pasti berbeda antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Begitupulah di Sulawesi Tenggara  yang mayaoritas masyarakatnya  95 %  adalah muslim  khususnya Buton.
Dari sini saya akan menjabarkannya . tapi sebelum itu,  kita harus mengetahui bagaimana islam masuk ke buton dan bagaimana perkembangannya. Pulau Buton di masa silam adalah kerajaan Hindu, dengan raja pertamanya bernama I Wa Kaa Kaa. Saat itu, Pulau Buton telah menjadi catatan penting dalam sejarah pelayaran nusantara. Terbukti, nama buton tertulis dalam kitab Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca.
Sejarah menggulirkan cerita baru, ketika seorang ahli tasawuf asal Gujarat, Syekh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al Fathani singgah di Pulau Buton. Ia bukan hanya berhasil mengislamkan Raja ke-VI Buton, Timbang Timbangan atau Lakilapotan atau Halu Oleo, dan segenap keluarganya. Namun, ia juga berhasil mengubah tatanan pemerintahan di pulau ini, dari kerajaan menjadi kesultanan. Bahkan, sang raja pun berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul. Disinilah tongak baru kesultanan buton dimulai. Perkawinan agama dan budaya melahirkan adat-istiadat tersendiri, yakni adat-istiadat buton. Agama menjadi rohani yang mengisi kehidupan warga Pulau Buton, dan budaya menjadi jasmaninya. Upacara akad nikah adalah contoh nyata perkawinan agama dan budaya itu. Seluruh rangkaian upacara dilakuan dalam bahasa Wolio, bahasa yang merangkum sekitar 100 bahasa lokal. Namun, pembacaan doa dilakukan dalam suasana khusu, persis yang biasa dilakukan kalangan sufi, ketika mereka bermohon kepada Yang Mahaperkasa.
Buah terindah dari bibit ajaran tasawuf yang ditanamkan oleh Syekh Abdul Wahid dan Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul adalah Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh, yang dirancang oleh Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Kekayaan ajaran tasawuf juga diperlihatkan manuskrip-manuskrip kuno, yang disimpan di rumah Muzaji Mulki di kawasan Benteng Keraton Wolio. Dalam manuskrip bertuliskan huruf arab gundul disampaikan berbagai ajaran tasawuf dari para sultan dalam bahasa arab, wolio, dan melayu. Bahasa melayu muncul dalam manuskrip, karena Syekh Abdul Wahid memang lama bermukim di Johor, Malaysia. Dan, para penyebar Islam di Pulau Buton, umumnya berasal dari negeri jiran itu.
Meski demikian, harus diakui, Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh adalah karya Kesultanan Buton yang paling fenomenal. Karena, Kesultanan Buton telah menempatkan ajaran tasawuf sebagai pijakan utama. Sehingga, mereka bukan lagi berada dalam wilayah syariat, seperti yang kini ramai diterapkan di berbagai daerah. Namun, justru di derat yang lebih tinggi, yakni tarekat. Pemahaman itu telah mereka yakini sejak di masa kesultanan berjaya. Karena itu, seorang sultan pun bukan lagi sekedar pemimpin pemerintahan, tapi seakan seorang wali yang diutus oleh Yang Maharaja. Dan, Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh pun menjadi pedoman nyata bagi sultan dan rakyatnya. Dari peraturan tertinggi ini, mereka membangun kehidupan yang sangat demokratis dan bertanggungjawab. Bahkan, jabatan sultan pun bukan dicapai karena trah semata. Tapi, ia dipilih karena akhlaknya oleh anggota dewan, yang disebut patalimbona. Karena undang-undang dasar martabat tujuh dan kekuatan adatnya, seorang sultan bisa dilengserkan bila terbukti ia melakukan kesalahan.
Kejayaan kesultanan buton telah lama berakhir. Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh pun hanyalah catatan sejarah masa silam. Entah dengan falsafah hidup masyarakat, yang menjunjung tinggi masalah agama di atas pemerintah, negara, dan diri pribadi.
Yinda yindamo arata somanamo karo.
(korbankan harta demi keselamatan diri)
Yinda yindamo karo somanamo lipu.
(korbankan diri demi keselamatan negara)
Yinda yindamo lipu somanamo syara.
(korbankan negara demi keselamatan pemerintah)
Yinda yindamo syara somanamo agama.
(korbankan pemerintah demi keselamatan agama)

Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat buton tidak memiliki sekat pemahaman islam berdasarkan aliran atau ormas seperti yang terjadi di pulau jawa. Tetapi pemahaman konsep islam lebih bnayak dipengaruhi oleh ajaran tassawuf yang dibawa oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani  .  walaupun demikian di era modern seperti sekarang ini, paham paham islam berdasarkan aliran dan ormas telah masuk kedalam masyarakat Buton , tapi pengaruhnnya belum begitu besar seperti Nahdhalatul Ulama dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah nya di pulau Jawa.

Peguraian Mendalam Mengenai Paham Yang berkembang
Ajaran tassawuf Yang dibawa oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani di Buton bukan hanya merubah sistem dan tatanan kerajaan Buton tetapi juga merubah sistem tatanan hidup masyarakat Buton dalam berbagai sendi kehidupan. Hal ini bisa kita lihat dari tradisi dan kebiasan mayarakat Buton yang berakulturasi dengan nilai-nilai islam. Pemahaman tassawuf  yang berkembang di msayarakat buton adalah martabat tujuh yang merupakan refleksi dari Ajaran wahdah al-wujud atau wujudiyyah.
Ajaran wahdah al-wujud atau wujudiyyah telah berakar lama di kesultanan Buton. Ajaran tersebut dikenal sejak masa kekuasaan Sultan Dayyan Ihsan ad-Din pada perempat pertama abad ke -17. Beberapa naskah yang memuat ajaran ini telah dipelajari di daerah itu sebelum abad ke-19. Dan pada abad ke 19, ajaran ini tetap berlanjut menjadi ajaran yang dianut oleh penghuni keraton.
Munculnya paham ini dalam dunia tasawuf adalah sebagai akibat adanya pengalaman fana dan baqa’  yang terjadi bagi sufi dalam “pengembaraan” tasawufnya. Pemikiran tasawuf di Buton pada abad ke-19, rupanya mengikuti alur pemikiran ini. Hal ini diketahui melalui ajaran tasawuf Muhammad ‘Aidrus. Ia menerima paham tasawuf wujudiyyah karena ia terlebih dahulu mengakui terjadinya fana’ dan baqa’ dalam pengembaraan tasawufnya. Karena menerima paham wujudiyyah, ‘Aidrus menerima pula konsep “martabat tujuh’ yang menjadi bagian ajaran wujudiyyah dalam tasawuf  teosofis. Konsep “martabat tujuh” adalah satu ajaran dalam tasawuf teosofis yang bertolak dari konsepsi bahwa hanya Tuhan yang satu-satunya wujud hakiki. Agar Ia dikenal, maka Tuhan menampakkan diri-Nya (tajalli). Penampakan diri Tuhan ini melalui tujuh tingkatan. Tujuh tingkatan inilah yang dikenal dalam kamus tasawuf Indonesia dengan “martabat tujuh”.
Martabat tujuh atau tujuh tingkatan tajalli tuhan yang dimuat dalam Undang-Undang Kesultanan Buton menyerupai konsep tujuh tahap tajalli  Tuhan yang ditulis oleh Muhammad ibn Fadlullah al-Burhanpuri. Adapun ajaran “martabat tujuh” yang dipahami di Buton pada abad ke-19 adalah sebagai berikut[1][1] : 1. Martabat ahadiyyah”. Yang disebut ahadiyyah adalah zat Allah semata, yang tidak diiktibarkan dengan sifat. Itulah yang disebut oleh ahli tasawuf dengan “la ta ayyun”, artinya tiada nyata akan “kenyataan-Nya”, sebab taiga sekali-kali jalan bagi akal untuk mengetahuin-Nya karena zat Allah semata-mata tidak diberi sifat dan nama (asma’). 2. Martabat wahdah’’. Yang disebut demikian adalah sifat Allah. Dan itulah yang disebut oleh ahli tasawuf dengan “ta’ayyun awwal”, artinya “kenyataan pertama”. Disebut demikian, karena pada “kenyataan pertama” itulah permulaan akal bisa mengetahui sifat Allah, sifat salbiyyah dan  sifat wujudiyyah. 3. Martabat wahidiyyah”. Yang disebut demikian adalah asma Allah. Dan oleh ahli tasawuf disebutnya dengan “ta’ayyun sani”, artinya “kenyataan yang kedua”. Disebut demikian, karena pada tingkatan ini Allah dapat dikenali oleh akal melalui asma-Nya, sebab asma-Nya itulah menunjukkan zat-Nya.
Ketiga tingkat tersebut diatas adalah qadim (tidak bermula) dan baqa (kekal selamanya). Urutan keberadaannya bukan dari sisi zaman atau waktu, tetapi hanya dari sisi akal. 4.      Martabat alam arwah”. Itulah pokok permulaan segala nyawa, baik manusia, maupun bagi makhluk l;ain. Dan nyawa yang pertama dijadikan oleh Tuhan adalah nyawa nabi Muhammad saw. Oleh karenanya, ia bergelar “abu al-arwah”, artinya “bapak segala nyawa”. Seratus dua puluh ribu tujuh tahun sesudahnya barulah diciptakan roh yang lain. Dan segala sesuatu yang diciptakan sesudahnya adalah karena roh Muhammad. Sebagai mana sabda Nabi Muhammad saw., “ Khalaqtu asy-syai’ li-ajlik wa-khalaqtuka li-ajli.”(Aku menciptakan sesuatu karena kamu, dan Aku menciptakanmu karena Aku). Sebabnya ia disebut ruh dalam bahasa Arab karena ia “pergi pulang”. Maka dalam bahasa Wolio, rih disebut dengan lipa. Kata ini juga berarti “pergi pulang”. Disebut demikian karena roh ini dating dan pergi pada jasad (badan). Jasad akan hidup jika didatangi oleh roh, dan mati jika ditinggalkan roh. 5.      martabat alam misal”. Yaitu perumpamaan segala keadaan, selain keadaaan Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan ada perumpamaannya dalam alam misal ini. Karena hanyalah sebagai perumpamaan, alammisal keadaanya halus, tidak dapat dicapai oleh pancaindera. 6.      Martabat alam ajsam”, yaitu segala kenyataan yang nyata, seperti tanah, batu, awan, air, dan segala keadaan yang dapat dibagi dan disusun. Alam ajsam ini bernama juga alam syahadah, artinya alam yang nyata, karena dapat diselidiki oleh pancaindera. Alam yang pertama dijadikan oleh Allah adalah ‘arsy dankursi, kemudian kalam, lauh mahfuz. Sesudah itu baru tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit.’arsy, kursi,  dan tujuh lapis langit disebut “wujud aba”, sedangkan bumi disebut “wujud ummahat”. Dan ajsam yang ada dibawah langit ada tiga jenis, yaitu :beku, tidak berkembang biak, dan nabatat, artinya tubuh segala tumbuh-tumbuhan. Dari semua ajsdam, tubuh Nabi Adamlah yang pertama diciptakan diatas bumi. Karenanya, ia bergelar “abu al-basyr”. Dan badan manusia ini terbentuk dari empat anasir, yaitu tanah, air, angin dan api.
7.      Martabat alam insani”, yaitu yang disebut manusia. Alam ini disebut pula ”martabat jam’iyyat”,  artinya tingkat yang mengumpulkan segala dalil yang menunjukkan keadaan Tuhan, yaitu sifat jalal dan jamal. Pada manusia itulah berkumpul dua perumpamaan, yaitu: roh adalah perumpamaannya al-haq (Tuhan), dan badan atau tubuh adalah perumpamaannya al-kahlq (ciptaan). Dikatakan demikian karena manusia memiliki sifat dua puluh yang wajib bagi Tuhan; dank arena segala sesuatu sifat yang ada pada badan atau tubuh manusia ada pula pada alam besar. Sebagai contoh, batu pada alam besar ditamsilkan dengan tulang dan adaging pada manusia, angin pada alam besar ditamsilkan napas pada manusia. Itulah sebabnya manusia disebut dengan “alam kecil”, dan alam yang diluar manusia disebut “alam besar”. Ini berarti, segala sesuatu yang ada di ala mini ada tamsilannya pada manusia. Bahkan lebih dari itu, pada manusia ada roh sebagai tamsil Tuhan yang tidak ada pada alam besar.
Konsep martabat tujuh merupakan tingkatan-tingkatan perwujudan melalui tujuh martabat, yaitu: (1) ahadiyah, (2) wahdah, (3) wadhidiyah, (4) ‘alam arwah, (5) ‘alam mitsal, (6) ‘alam ajsam, dan (7) ‘alam insan. Pemahaman seperti itu kelihatannya lebih tegas dipahami Walisongo di pulau Jawa dan Sultan La Ode Muhammad Idrus Kaimuddin serta La Ode Abdul Ganiu ( Kinepulu Bula ) di Buton, yang kental dengan nuansa Sunni. Gaya-gaya penafsiran mereka ini kelihatan tetap cenderung pada tasawuf Sunni. Dan, tasawuf Sunni inilah yang banyak dianut masyarakat Islam Indonesia hingga sekarang.


[1][1]  Naskah yang memuat ajaran “martabat tujuh” ini dimuat dalam Undang-Undang Kesultanan Buton pada masa Sultan Muhammad ‘Aidrus Qa’im ad-Din (SBF: 179). Naskah ini ditranskripsi dan diterjemahkan oleh A. Mulku Zahari. Baca  Zahari Asrar,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEDATANGAN MIA PATAMIANA DI PULAU BUTON

  KEDATANGAN MIA PATAMIANA DI PULAU BUTON Sejarah peradaban pulau buton tidak terlepas dari peran para pendatang melalui jalur laut seba...