Akhir akhir ini kita mengetahui mulai banyaknya aliran
dalam islam . Aliran dalam Islam mulai tampak pada saat perang Siffin (37 H)
khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah. Pada saat tentara ‘Ali dapat
mendesak tentara Mu’awiyah maka Mu’awiyah meminta diadakan perdamaian. Sebagian
tentara ‘Ali menyetujui perdamaian ini, dan sebagian lagi menolaknya. Kelompok yang
tidak setuju ini akhirnya memisahkan
diri dari ‘Ali dan membentuk kelompok sendiri yang akhirnya terkenal dengan
nama Khawarij. Mereka menganggap Ali, Mu’awiyah dan orang-orang yang menerima
perdamaian ini telah berbuat salah (dosa besar) karenanya mereka bukan mukmin
lagi dan boleh dibunuh.
Masalah dosa besar ini kemudian menimbulkan 3 aliran
teologi dalam Islam yaitu : Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah. Masalah
kepemimpinan ini kemudian menyebabkan munculnya kelompok yang menganggap yang
berhak adalah Ali dan keturunannya (Syi’ah) dan kelompok yang berseberangan
dengannya (Ahlus Sunnah wal Jama’ah).Dan akibat pengaruh agama lain dan
filsasat pada umat Islam maka muncullah kelompok yang menyatakan bahwa manusia
mempunyai kebebasan dalam berkendak dan perbuatannya (Qadariyyah) dan kelompok
yang berpendapat sebaliknya (Jabariyyah). Setelah itu banyak bermunculan
aliran-aliran baru dalam agama Islam.
Yang perlu
diperhatikan disini, bahwa perselisihan yang terjadi pada masalah keyakinan
pada umat Islam pada zaman dahulu tidaklah pada inti dari keyakinan (lubbul
‘aqidah), tetapi masalah-masalah filsafat dan sama sekali tidak menyentuh inti
keyakinan seperti keesaan Allah, Iman kepada para rasul dan hari akhir, iman
kepada malaikat, dan bahwa yang diberitakan oleh Nabi Muhammad adalah benar. Namun
pada saat ini munculnya aliran di islam bukan hanya perbedaan filsafah tapi
sudah menyentuh inti keyakinanan (lubbul ‘aqidah) itu. Bahkan banyak diantara
aliran ini menyimpang dari ajaran islam . hal ini pun terjadi di indonesia.
Walaupun demikian, Dari banyaknya aliran yang berkembang di Indonesia,
tipologi pemahaman konsep islam pasti berbeda antara daerah yang satu dengan
yang lainnya. Begitupulah di Sulawesi Tenggara yang mayaoritas
masyarakatnya 95 % adalah muslim khususnya Buton.
Dari sini saya akan
menjabarkannya . tapi sebelum itu, kita harus mengetahui bagaimana islam
masuk ke buton dan bagaimana perkembangannya. Pulau Buton di masa silam adalah
kerajaan Hindu, dengan raja pertamanya bernama I Wa Kaa Kaa. Saat itu, Pulau
Buton telah menjadi catatan penting dalam sejarah pelayaran nusantara.
Terbukti, nama buton tertulis dalam kitab Negara Kertagama karangan
Mpu Prapanca.
Sejarah menggulirkan
cerita baru, ketika seorang ahli tasawuf asal Gujarat, Syekh Abdul Wahid bin
Syarif Sulaiman Al Fathani singgah di Pulau Buton. Ia bukan hanya berhasil
mengislamkan Raja ke-VI Buton, Timbang Timbangan atau Lakilapotan atau Halu
Oleo, dan segenap keluarganya. Namun, ia juga berhasil mengubah tatanan
pemerintahan di pulau ini, dari kerajaan menjadi kesultanan. Bahkan, sang raja
pun berganti nama menjadi Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul. Disinilah tongak
baru kesultanan buton dimulai. Perkawinan agama dan budaya melahirkan
adat-istiadat tersendiri, yakni adat-istiadat buton. Agama menjadi rohani yang
mengisi kehidupan warga Pulau Buton, dan budaya menjadi jasmaninya. Upacara
akad nikah adalah contoh nyata perkawinan agama dan budaya itu. Seluruh
rangkaian upacara dilakuan dalam bahasa Wolio, bahasa yang merangkum sekitar
100 bahasa lokal. Namun, pembacaan doa dilakukan dalam suasana khusu, persis
yang biasa dilakukan kalangan sufi, ketika mereka bermohon kepada Yang
Mahaperkasa.
Buah terindah dari bibit ajaran tasawuf yang
ditanamkan oleh Syekh Abdul Wahid dan Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul adalah
Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh, yang dirancang oleh Sultan Dayanu
Ikhsanuddin. Kekayaan ajaran tasawuf juga diperlihatkan manuskrip-manuskrip
kuno, yang disimpan di rumah Muzaji Mulki di kawasan Benteng Keraton Wolio.
Dalam manuskrip bertuliskan huruf arab gundul disampaikan berbagai ajaran
tasawuf dari para sultan dalam bahasa arab, wolio, dan melayu. Bahasa melayu
muncul dalam manuskrip, karena Syekh Abdul Wahid memang lama bermukim di Johor,
Malaysia. Dan, para penyebar Islam di Pulau Buton, umumnya berasal dari negeri
jiran itu.
Meski demikian, harus
diakui, Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh adalah karya Kesultanan Buton yang
paling fenomenal. Karena, Kesultanan Buton telah menempatkan ajaran tasawuf
sebagai pijakan utama. Sehingga, mereka bukan lagi berada dalam wilayah
syariat, seperti yang kini ramai diterapkan di berbagai daerah. Namun, justru
di derat yang lebih tinggi, yakni tarekat. Pemahaman itu telah mereka yakini
sejak di masa kesultanan berjaya. Karena itu, seorang sultan pun bukan lagi
sekedar pemimpin pemerintahan, tapi seakan seorang wali yang diutus oleh Yang
Maharaja. Dan, Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh pun menjadi pedoman nyata
bagi sultan dan rakyatnya. Dari peraturan tertinggi ini, mereka membangun
kehidupan yang sangat demokratis dan bertanggungjawab. Bahkan, jabatan sultan
pun bukan dicapai karena trah semata. Tapi, ia dipilih karena akhlaknya oleh
anggota dewan, yang disebut patalimbona. Karena undang-undang dasar martabat
tujuh dan kekuatan adatnya, seorang sultan bisa dilengserkan bila terbukti ia
melakukan kesalahan.
Kejayaan kesultanan
buton telah lama berakhir. Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh pun hanyalah
catatan sejarah masa silam. Entah dengan falsafah hidup masyarakat, yang menjunjung
tinggi masalah agama di atas pemerintah, negara, dan diri pribadi.
Yinda yindamo arata somanamo
karo.
(korbankan harta demi keselamatan
diri)
Yinda yindamo karo somanamo lipu.
(korbankan diri demi keselamatan
negara)
Yinda yindamo lipu somanamo syara.
(korbankan negara demi
keselamatan pemerintah)
Yinda yindamo syara somanamo
agama.
(korbankan pemerintah demi
keselamatan agama)
Dari penjabaran
diatas dapat disimpulkan bahwa masyarakat buton tidak memiliki sekat pemahaman
islam berdasarkan aliran atau ormas seperti yang terjadi di pulau jawa. Tetapi
pemahaman konsep islam lebih bnayak dipengaruhi oleh ajaran tassawuf yang
dibawa oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani .
walaupun demikian di era modern seperti sekarang ini, paham paham islam
berdasarkan aliran dan ormas telah masuk kedalam masyarakat Buton , tapi
pengaruhnnya belum begitu besar seperti Nahdhalatul Ulama dengan paham Ahlus
Sunnah wal Jama’ah nya di pulau Jawa.
Peguraian
Mendalam Mengenai Paham Yang berkembang
Ajaran tassawuf Yang
dibawa oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani di Buton bukan
hanya merubah sistem dan tatanan kerajaan Buton tetapi juga merubah sistem
tatanan hidup masyarakat Buton dalam berbagai sendi kehidupan. Hal ini bisa
kita lihat dari tradisi dan kebiasan mayarakat Buton yang berakulturasi dengan
nilai-nilai islam. Pemahaman tassawuf yang berkembang di msayarakat buton
adalah martabat tujuh yang merupakan refleksi dari Ajaran wahdah
al-wujud atau wujudiyyah.
Ajaran wahdah
al-wujud atau wujudiyyah telah berakar lama di
kesultanan Buton. Ajaran tersebut dikenal sejak masa kekuasaan Sultan Dayyan
Ihsan ad-Din pada perempat pertama abad ke -17. Beberapa naskah yang memuat
ajaran ini telah dipelajari di daerah itu sebelum abad ke-19. Dan pada abad ke
19, ajaran ini tetap berlanjut menjadi ajaran yang dianut oleh penghuni
keraton.
Munculnya paham ini
dalam dunia tasawuf adalah sebagai akibat adanya pengalaman fana dan baqa’ yang
terjadi bagi sufi dalam “pengembaraan” tasawufnya. Pemikiran tasawuf di Buton
pada abad ke-19, rupanya mengikuti alur pemikiran ini. Hal ini diketahui
melalui ajaran tasawuf Muhammad ‘Aidrus. Ia menerima paham tasawuf wujudiyyah karena
ia terlebih dahulu mengakui terjadinya fana’ dan baqa’ dalam
pengembaraan tasawufnya. Karena menerima paham wujudiyyah, ‘Aidrus
menerima pula konsep “martabat tujuh’ yang menjadi bagian ajaran wujudiyyah dalam
tasawuf teosofis. Konsep “martabat tujuh” adalah satu ajaran dalam
tasawuf teosofis yang bertolak dari konsepsi bahwa hanya Tuhan yang
satu-satunya wujud hakiki. Agar Ia dikenal, maka Tuhan menampakkan diri-Nya
(tajalli). Penampakan diri Tuhan ini melalui tujuh tingkatan. Tujuh tingkatan
inilah yang dikenal dalam kamus tasawuf Indonesia dengan “martabat tujuh”.
Martabat tujuh atau
tujuh tingkatan tajalli tuhan yang dimuat dalam Undang-Undang
Kesultanan Buton menyerupai konsep tujuh tahap tajalli Tuhan
yang ditulis oleh Muhammad ibn Fadlullah al-Burhanpuri. Adapun ajaran “martabat
tujuh” yang dipahami di Buton pada abad ke-19 adalah sebagai berikut[1][1]
: 1. Martabat ahadiyyah”. Yang disebut ahadiyyah adalah
zat Allah semata, yang tidak diiktibarkan dengan sifat. Itulah yang disebut
oleh ahli tasawuf dengan “la ta ayyun”, artinya tiada nyata akan
“kenyataan-Nya”, sebab taiga sekali-kali jalan bagi akal untuk mengetahuin-Nya
karena zat Allah semata-mata tidak diberi sifat dan nama (asma’). 2. Martabat wahdah’’.
Yang disebut demikian adalah sifat Allah. Dan itulah yang disebut oleh ahli
tasawuf dengan “ta’ayyun awwal”, artinya “kenyataan pertama”. Disebut
demikian, karena pada “kenyataan pertama” itulah permulaan akal bisa mengetahui
sifat Allah, sifat salbiyyah dan sifat wujudiyyah.
3. Martabat wahidiyyah”. Yang disebut demikian adalah asma
Allah. Dan oleh ahli tasawuf disebutnya dengan “ta’ayyun sani”, artinya
“kenyataan yang kedua”. Disebut demikian, karena pada tingkatan ini Allah dapat
dikenali oleh akal melalui asma-Nya, sebab asma-Nya itulah menunjukkan zat-Nya.
Ketiga tingkat
tersebut diatas adalah qadim (tidak bermula) dan baqa (kekal
selamanya). Urutan keberadaannya bukan dari sisi zaman atau waktu, tetapi hanya
dari sisi akal. 4. Martabat alam arwah”.
Itulah pokok permulaan segala nyawa, baik manusia, maupun bagi makhluk l;ain.
Dan nyawa yang pertama dijadikan oleh Tuhan adalah nyawa nabi Muhammad saw.
Oleh karenanya, ia bergelar “abu al-arwah”, artinya “bapak segala nyawa”.
Seratus dua puluh ribu tujuh tahun sesudahnya barulah diciptakan roh yang lain.
Dan segala sesuatu yang diciptakan sesudahnya adalah karena roh Muhammad.
Sebagai mana sabda Nabi Muhammad saw., “ Khalaqtu asy-syai’ li-ajlik
wa-khalaqtuka li-ajli.”(Aku menciptakan sesuatu karena kamu, dan Aku
menciptakanmu karena Aku). Sebabnya ia disebut ruh dalam
bahasa Arab karena ia “pergi pulang”. Maka dalam bahasa Wolio, rih disebut
dengan lipa. Kata ini juga berarti “pergi pulang”. Disebut
demikian karena roh ini dating dan pergi pada jasad (badan). Jasad akan hidup
jika didatangi oleh roh, dan mati jika ditinggalkan roh. 5.
martabat alam misal”. Yaitu perumpamaan segala keadaan, selain
keadaaan Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan ada perumpamaannya dalam alam misal ini.
Karena hanyalah sebagai perumpamaan, alammisal keadaanya halus,
tidak dapat dicapai oleh pancaindera. 6. Martabat
alam ajsam”, yaitu segala kenyataan yang nyata, seperti tanah,
batu, awan, air, dan segala keadaan yang dapat dibagi dan disusun. Alam ajsam ini
bernama juga alam syahadah, artinya alam yang nyata, karena dapat
diselidiki oleh pancaindera. Alam yang pertama dijadikan oleh Allah adalah ‘arsy dankursi,
kemudian kalam, lauh mahfuz. Sesudah itu baru tujuh lapis bumi
dan tujuh lapis langit.’arsy, kursi, dan tujuh lapis langit
disebut “wujud aba”, sedangkan bumi disebut “wujud ummahat”.
Dan ajsam yang ada dibawah langit ada tiga jenis, yaitu :beku,
tidak berkembang biak, dan nabatat, artinya tubuh segala
tumbuh-tumbuhan. Dari semua ajsdam, tubuh Nabi Adamlah yang pertama
diciptakan diatas bumi. Karenanya, ia bergelar “abu al-basyr”. Dan
badan manusia ini terbentuk dari empat anasir, yaitu tanah, air, angin dan api.
7.
Martabat alam insani”, yaitu yang disebut manusia. Alam ini disebut
pula ”martabat jam’iyyat”, artinya tingkat yang mengumpulkan
segala dalil yang menunjukkan keadaan Tuhan, yaitu sifat jalal dan jamal.
Pada manusia itulah berkumpul dua perumpamaan, yaitu: roh adalah
perumpamaannya al-haq (Tuhan), dan badan atau tubuh adalah
perumpamaannya al-kahlq (ciptaan). Dikatakan demikian karena
manusia memiliki sifat dua puluh yang wajib bagi Tuhan; dank arena segala
sesuatu sifat yang ada pada badan atau tubuh manusia ada pula pada alam besar.
Sebagai contoh, batu pada alam besar ditamsilkan dengan tulang dan adaging pada
manusia, angin pada alam besar ditamsilkan napas pada manusia. Itulah sebabnya
manusia disebut dengan “alam kecil”, dan alam yang diluar manusia disebut “alam
besar”. Ini berarti, segala sesuatu yang ada di ala mini ada tamsilannya pada
manusia. Bahkan lebih dari itu, pada manusia ada roh sebagai tamsil Tuhan yang
tidak ada pada alam besar.
Konsep martabat tujuh
merupakan tingkatan-tingkatan perwujudan melalui tujuh martabat, yaitu: (1)
ahadiyah, (2) wahdah, (3) wadhidiyah, (4) ‘alam arwah, (5) ‘alam mitsal, (6)
‘alam ajsam, dan (7) ‘alam insan. Pemahaman seperti itu kelihatannya lebih
tegas dipahami Walisongo di pulau Jawa dan Sultan La Ode Muhammad Idrus
Kaimuddin serta La Ode Abdul Ganiu ( Kinepulu Bula ) di Buton, yang kental
dengan nuansa Sunni. Gaya-gaya penafsiran mereka ini kelihatan tetap cenderung
pada tasawuf Sunni. Dan, tasawuf Sunni inilah yang banyak dianut masyarakat
Islam Indonesia hingga sekarang.
[1][1]
Naskah yang memuat ajaran “martabat tujuh” ini dimuat dalam Undang-Undang
Kesultanan Buton pada masa Sultan Muhammad ‘Aidrus Qa’im ad-Din (SBF: 179).
Naskah ini ditranskripsi dan diterjemahkan oleh A. Mulku Zahari. Baca
Zahari Asrar,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar