AJARAN REINKARNASI DI NEGERI BUTON
M
|
engenai
kematian dan akhirat, bagi orang muslim penguburan diikuti dengan serangkaian
upacara Islam yang dipadukan dengan beberapa unsur tradisional. Di satu pihak,
orang Muslim Buton tahu dan sedikit banyak percaya akan ajaran Islam tentang
kiamat dan pengadilan nanti, masuk surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada
kepercayaan yang kuat pada reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan
ke dalam diri anak kecil yang mana seorang kakek, nenek, atau sanak famili yang
lain.
A. Asal-Usul
Kepercayaan pada Reinkarnasi
Reinkarnasi berarti penjelmaan (penitisan) kembali
makhluk yang telah mati. Reinkarnasi merupakan kepercayaan bahwa jiwa tinggal
pada pada banyak tubuh, satu sesudah yang lain dan dapat hidup berkali-kali di
dunia sebelum akhirnya dimurnikan seutuhnya dan dengan demikian bebas dari
keharusan untuk pindak ke tubuh lain. Menurut kepercayaan ini, jiwa sudah ada
sebelum masuk ketubuh dan sesudah kematian pun tetap ada dalam keadaan tanpa
tubuh, sebelum sekali lagi menjiwai satu tubuh dari jenis yang sama atau yang
lain. Dalam berbagai bentuk, reinkarnasi diterima oleh agama Budha, Hindhu dan
Neoplatonisme.
Bila
mendengar atau membaca soal kepercayaan tentang reinkarnasi di Buton, orang
mungkin bertanya, bagaimana asal mulanya?. Ada beberapa kemungkinan. Orang
dapat menerka itu telah ada dalam kebudayaan Buton pra-Islam (dan mungkin
pra-Hindu). Kemungkinan kedua, kepercayaan itu terbentuk di bawah pengaruh
Hindu sebelum pengislaman, khususnya sebagai akibat adanya hubungan dengan
kerajaan Jawa-Hindu; Majapahit. Kemungkinan ketiga yang patut disebut, gagasan
reinkarnasi terkandung dalam sufisme yang dibawa ke Buton.
Wilken (1912:64-90) berdasarkan kepustakaan yang ada
pada 1884, berkesimpulan bahwa kepercayaan pada perpindahan arwah memang
dikenal oleh berbagai suku di Indonesia. Ia menganggap ide tentang reinkarnasi
sebagai bentuk khusus daripadanya. Pada hematnya, “ajaran tentang perpindahan
arwah” merupakan konsep asli Polinesia, maksudnya gagasan Indonesia asli
(Wilken 1912:64). Tentang kebudayaan Jawa ia memang menunjuk kepada Hindu,
namun ia memberi kesan bahwa disitu pun, ia berasumsi gagasan Indonesia asli
sangat penting (Wilken 1912:64 dan 68).
Mengenai anggapan bahwa pengaruh Hindu di Buton, ada
beberapa bukti yang dapat diajukan. Pertama, tradisi setempat menyebut adanya hubungan
dengan Majapahit. Pernyataan ini diperkuat oleh nama-nama raja Buton pada kurun
waktu itu, yang menyiratkan pengaruh Jawa Hindu, yakni Sibatara, Bataraguru,
Tuarade dan Rajamulae. Menurut cerita turun-temurun, raja keenam masuk Islam
dan kemudian menggunakan gelar sultan. Lalu ia disebut dengan Murhum, yang
berasal dari bahasa Arab marhum (Zahari 1977, I:46).
Bukti kedua
merupakan cerita, termasuk cerita turun-temurun, bahwa raja keempat, Tuarade,
dari kunjungannya ke Majapahit membawa pulang empat tanda kekuasaan. Juga dalam
sejarah Jawa tentang Majapahit, yaitu Negara Kertagama, Buton disebut sebagai
kawasan yang mempunyai hubungan dengan atau berada dibawah pengaruh Majapahit.
Bukti lain, tampak dalam cerita tentang para pengungsi Jawa dari Majapahit yang
mencari perlindungan di Pulau Buton yang bersahabat dibawah pemerintahan
Rajamulae. Di bawah penggantinya, Murhum, mereka ditekan agar masuk Islam.
Bukti lain yang berbeda corak dapat pula digunakan
karena ada kemiripan gagasan tentang reinkarnasi di Jawa (Tengah) sebagaimana
digambarkan oleh Geertz (1960:75,76), “Pandangan ketiga, sangat luas dianut
oleh semua orang, kecuali para santri, yang mengutuknya sebagai bid’ah,
merupakan gagasan tentang reinkarnasi-bahwa ketika orang meninggal, arwahnya tidak
lama kemudian masuk ke dalam janin sebagai jalan menuju kelahiran.
Biasanya, seorang wanita yang mengandung tiba-tiba
sangat mengidamkan beberapa makanan tertentu- sebuah jeruk yang tidak musimnya
atau sebutir telur itik- makanan ini bernyawa dan dengan demikian masuk ke
dalam kandungan perempuan itu dan dilahirkan kembali sebagai anaknya.
Reinkarnasi sering tidak selalu terjadi dalam keluarga yang sama, walaupun
hubungan kekeluargaan mungkin agak jauh dan orang yang menerima reinkarnasi
tidak usah berjenis kelamin sama dengan orang yang telah meninggal. Itu mungkin
diramalkan oleh impian atau ditentukan oleh kemiripan sifat anak dan orang yang
baru saja meninggal, atau oleh tahi lalat yang serupa.
Bagi orang Buton, tidaklah bijaksana menceritakan kepada
anak, siapa yang menitis padanya, karena hal ini dapat mempermalukan arwah
dalam diri si anak, dan ia akan jatuh sakit. Setelah si anak berumur enam tahun
atau lebih, hal itu tidak menjadi masalah.
Soal gagasan
tentang reinkarnasi dalam sufisme dan yang tersebar di Buton, tentu memang ada.
Dalam kepustakaan mengenai sufisme Indonesia, khususnya di Aceh pada abad ke-16
dan ke-17, gagasan tentang reinkarnasi tidak disebut.. setidaknya dapat diduga
bahwa sufisme secara masuk bisa menerima gagasan yang berbeda-beda dan
menawarkan kemungkinan tertentu kepada gagasan tentang reinkarnasi.
B.
Gagasan-gagasan yang Berkaitan dengan Reinkarnasi
B.1 .
Pengaruh terhadap waktu dan tempat reinkarnasi
Ada kepercayaan bahwa orang tertentu punya kekuatan
untuk menentukan kapan orang mati dikubur, dimana, dan kapan rohnya akan
kembali. Di Wolio orang demikian disebut motaurakea, dan di Lia dan Rongi (nama
desa) pasucu. Di Wolio kepercayaan akan hal ini masih kuat, di Lia dan Rongi
tak begitu kuat. Keluarga mendiang akan memilih seseorang yang punya bakat ini,
dan ia akan menguburkan orang yang meninggal itu secara baik dan memanjatkan
doa yang tepat.
Salah seorang informan (Wolio) ingat bahwa pamannya
berlaku sebagai motaurakea pada suatu pemakaman. Keluarga orang yang meninggal
itu bertanya, ‘Kemana Anda akan bawa arwah itu?’ ia menjawab dengan serta
merta, ‘Saya membawanya kesini,” seraya menunjuk kepada satu keluarga yang
hadir. Tidak begitu lama arwah mendiang lahir kembali dalam keluarga itu.
(Penelitian Antropolgi Pim Schoorl, tentang Masyarakat, Sejarah Dan Kebudayaan
Buton: 1984}.
Di Rongi pernah ada kepercayaan bahwa orang dapat
berlaku sebagai pasucu, tetapi sekarang pendapat yang dominan ialah cepatnya
roh kembali tergantung pada amal ibadahnya dan kadar dosanya. Dan diantara
mereka ada yang menolak jalan pikiran bahwa, pasucu dapat menentukan kemana
arwah kemana arwah itu akan kembali. Ia yakin bahwa arwah sumanga yang sudah
bersih atau suci akan mencari sendiri tempat yang baik. Jika tidak ada hubungan
baik antara suami-istri di kalanagan sanak terdekat, maka arwah tidak ingin
kembali kesana. Tetapi arwah biasanya kembali ke tubuh seorang cucu. Ini
disebut “ditempati oleh almarhum” (kabolisina mia mate). Kemungkinan kembalinya
arwah diluar keluarga almarhum atau bahkan di luar Rongi bisa saja terjadi.
Menurut adat, mula-mula arwah pergi ke semacam surga
(kacingkia, kepercayaan akan surga dimana cingkaha, arwah, juga disebut
sumanga, tinggal). Surga serupa dengan tempat tinggal orang hidup, dan
disanalah diambil keputusan tentang kembalinya arwah oleh Tuhan (Kawasana
Ompu). Setiap tahun pada hari pertama bulan puasa (Ramadhan), berlangsung
pertemuan di batula (surga), dan pada kesempatan ini arwah dapat bertanya
kepada Kawasana Ompu tentang keputusan tentang pemberian keputusan baru.
Kerabat yang masih hidup dapat meringankan nasib roh dengan memanjatkan doa
untuknya dengan berzikir dambil menyiramkan air diatas kuburan (kabubusi).
Dengan cara ini, dosa almarhum juga dikurangi. Jika
dosanya sangat besar, mungkin arwah tidak dapat menebusnya, bahkan setelah
melewati masa tujuh tahun. Kemudian arwah itu lahir kembali, akan tetapi orang
yang menjadi reinkarnasinya akan cacat. Dalam pemikiran keagamaan Buton, ada
tujuh alam yang diperbedakan. Pembedaan tujuh alam itu (martabat tujuh) juga
ditemukan dalam konstitusi kesultanan. Menurut sejarah Buton, versi pertama
konstitusi itu dirancang oleh sultan keempat, La Elangi (1578-1615) dengan
bantuan ahli agama dari Arab, Syarif Muhammed (bandingkan dengan contoh gagasan
reinkarnasi diatas). Tiga alam pertama, alam ahdat (ahadiyya), alam wahadat
(wahda), dan alam waahidiyat (wahdiyya), dan secara keseluruhan merupakan
wewenang Tuhan. Manusia tidak mempunyai gambaran tentang tiga alam pertama
tersebut. Alam kedua dan ketiga memiliki persamaan dengan keadaan di bumi. Akan
tetapi, hanya di alam keempat ada semacam persolan tentang, perintah agar
menjadi (kun). Ini alam arwah. Arwah berpindah ke pikiran, otak bapak, dan
menitis dalam pikiran bapak. Pasangan yang menikah harus meminta arwah yang
sempurna dan baik dari orang yang meninggal yang tinggal bersama Rasul, bagi
anaknya. Dimana akan menikmati usia panjang serta kemakmuran dan penyempurnaan
agama yang kaut. Lalu dari sana arwah akan bergerak ke alam yang kelima, alam
masal dan disini dibentuk citra, pemikiran, gagasan dalam kandungan ibu. Dalam
rahim ibu itu terjadi perubahan bentuk dari setetes cairan (air mani), yang
berubah menjadi daging dan darah; menjadi tubuh. Itu alam keenam, alam ajisam.
Alam masal dan alam ajisam berlangsung selama 40 hari. Selama alam ajisam orang
tua harus berhati-hati agar tidak menderita cacat dan tidak mendapat masalah
dalam pertumbuhannya. Dalam kurun waktu itu juga watak anak terbentuk. Janin
berkembang menjadi makhluk dengan panca indera; seorang manusia. Kemudian alam
ketujuh, alam insan atau alam manusia dicapai.
Kendati arwah masih berada dalam alam insan orang tua
harus selalu berdoa untuk kesucian. Setiap waktu, air yang digunakan untuk
penyucian sebelum doa mereka panjatkan: “Ya Tuhan, sucikan hatiku, hidupku,
seperti saya berada di alam insan”. Ini merupakan inti doa yang diucapkan dalam
bentuk batata khusus, atau ungkapan (pra-Islam).
Ada juga
pertalian antara gagasan tentang reinkarnasi dan selamatan peringatan upacara
untuk orang meninggal pada malam ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, dan
keseratus dua puluh setelah wafatnya. Terdapat semacam peresamaan dalam
perkembangan antara reinkarnasi arwah melalui kelahiran baru dan penguraian
mayat.
Setelah tiga hari jenazah menjadi bengkak, tetapi
belum pecah. Dalam rentang waktu itu arwah mencari-cari, namun tidak dapat
menemukan tempat tinggal. Setelah tujuh hari, tubuh menjadi bengkak dan mulai
pecah terurai, cairan dan darah mengalir keluar. Dalam periode ini, arwah ditiup
kedalam nyawa yang didorong oleh zikir secara terus-menerus oleh mereka yang
menghadiri selamatan. Namun, arwah belum juga masuk kedalam tubuh. Setelah
empat puluh hari sebagian besar jenazah menjadi busuk, walaupun tulamg belulang
masih diliputi daging dan darah. Arwah kemudian mengambil bentuk mereka yang
pertama dalam kepala bapak, akan tetapi masih belum mempunyai wujud lahiriyah.
Baru setelah seratus hari berlalu, sekujur mayat menjadi busuk. Kemudian arwah
bersama nyawa masuk kedalam ibu melalui pikiran bapak, dan kemudian melalui
persetubuhan. Badan mulai berkembang dan semua belum sempurna, namun masih
belum tumbuh mendewasa-indapo aseko o kauna limana, yakni jari tangan dan kaki
belum terbuka. Setelah seratus dua puluh hari seluruh tubuh sudah sempurna dan
hanya tinggal tumbuh lagi.
Ilmu tentang asal mula manusia, tentang berbagai alam
tempat tinggal arwah sebelum lahir sangat penting baik untuk orang muda maupun
orang tua jika mereka ingin terbebas dari kesombongan dan kecongkakan. Acuan
pada rahim merupakan pernyataan kerendahan hati: dengan demikian orang tidak
akan lupa bahwa ia berasal dari keadaan yang tidak bersih. Bahkan pada saat
senang orang harus sadar akan hal ini. Begitulah kepercayaan sejati. Bahkan
mereka yang jarang ke masjid namun hidup dengan pemikiran ini, adalah penganut
agama yang baik. Inti kejahatan terletak kepada kesombongan, keangkuhan, dan
lupa pada asal-usul.
Ilmu tersebut sering disebut ilmu tauhid (ilmu
kejadian), ilmu tentang menjadi ada. Ilmu ini penting jika orang ingin
mengetahui tentang diri sendiri dan asal-usulnya. Tanpa ini, orang benar-benar
tidak dapat yakin adanya Tuhan. Seandainya orang telah mencapai ilmu itu, maka
ia telah mencapai taraf kenal akan hakikat. Pada tingkat ini, orang tidak harus
sembahyang (shalat) secara teratur, karena bila sudah dekat pada Tuhan orang
tidak perlu lagi bersembahyang. Lalu orang sudah berjalan di sisi Tuhan. Mereka
yang telah mencapai taraf ini, para ahli tasawuf atau ahli sufi, terlepas dari
soal keduniaan. Mereka yang telah menimba banyak ilmu, yang sangat mendekati
Tuhan (opoopoti oputa, secara harfiah “merenungkan Tuhan) dapat menentukan
kemana arwah mereka akan pergi, sebagaimana dapat mereka lakukan juga hal-hal
lain yang tidak dapat dilakuakan oleh orang biasa.
Di lain pihak, dikatakan pula bahwa kehidupan baik
dapat diganjar dengan kehidupan berikut yang lebih baik. Seseorang dari
golongan bangsawan lapis ketiga (papara) dapat dilahirkan kembali sebagai anak
dari walaka (lapis kedua) atau dari La ode (lapis pertama) atau pada zaman
dahulu bahkan bisa jadi adalah sultan sendiri. Sebaliknya, seseorang yang hidup
buruk dapat dilahirkan kembali ke golongan yang lebih rendah. Terkadang hal itu
juga dipandang sebagai seorang perempuan. Dahulu perempuan biasanya meratapi
kenyataan bahwa mereka dititiskan sebagai perempuan karena orang laki-laki
selalu dianggap lebih penting dan anak laki-laki lebih dimanjakan daripada
gadis.
Konon, di Rongi orang percaya bahwa hidup buruk,
seperti mengumbar nafsu birahi dapat mengakibatkan roh kembali dalam wujud
binatang. Ini bisa segala macam hewan bahkan seekor babi.
B.2. Berubah
menjadi binatang
Perjalanan arwah ke alam binatang disebut dauru (dawr
= perubahan). Dalam kepercayaan Wolio dan Pulau Muna, perjalanan itu tidak
berhubungan dengan hukuman atas hidup buruk. Sebaliknya, orang yang dapat
menjalani perubahan ini sangatlah suci. Kisah yang terkenal ialah
Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum (k.l.1491-1537; bandingkan dengan Zahari
1977, I:46; nama sangia juga menunjukan kesucian).
Cerita ini berlangsung di Muna. Sangia-i-rape terkenal
telah menuntut ilmu kebatinan. Pada suatu hati ia memperhatikan kulitnya yang
mulai menyerupai kulit buaya. Putranya Sangia Wambulu, juga mengetahuinya dan
merasa malu. Ia berkata kepada ayahnya, “Lebih baik saya bawa ayah ke laut,
mandi disana.” Ketika mereka tiba di laut, Sangia-i-rape menaruh sarungnya di
atas batu dan dimandikan oleh putranya. Ketika dimandikan, ia betul-betul
berubah menjadi buaya. Karena ilmu yang ia tuntut itu, ia dapat langsung berubah
menjadi buaya. Menurut seorang informan dari Wolio, ia jelas telah begitu dekat
padaTuhan (opooputi oputa) karena dapat menjadi apa saja yang dia inginkan.
Jika seseorang sudah begitu dekat pada Tuhan dan mencapai penyatuan dengan
Tuhan seperti itu, maka ia dapat berbuat apa saja yang disukainya.
B.3.
Mengenal arwah mendiang pada anak-anak
Kadang kala seorang kerabat dengan jelas akan
menyatakan, sebelum meninggal, kepada siapa dia akan kembali. Pada beberapa
anak, reinkarnasi ini jelas kelihatan dari roman muka dan atau kelakuan. Cucu
laki-laki sultan terakhir, reinkarnasi permaisuri sultan, membuat hal ini jelas
karena sebagai anak kecil ia mampu mengenali perhiasan mendiang permainsuri dan
mengakui sebagai miliknya. Sultan Muhammad Idrus (Sultan XXIX: 1824-1851 M)
juga tahu siapa yang menitis pada dirinya, sedangkan putranya Mohammad Isa
(Sultan XXX : 1851-1861 M), serta merta berbicara setelah kelahirannya berkat
arwah yang menitis pada dirinya.
C. Percaya
pada Reinkarnasi dan Gagasan-gagasan Keagamaan Lain
C.1. Percaya
pada reinkarnasi dan Islam
Informan yang memberikan keterangan kepada Pim
Schoorl, sangat percaya pada reinkarnasi, memperkenalkan pandangan hidup Islam
yang ortodoks (kolot) tetang kehidupan setelah mati, sedangkan ia juga
mempercayai bahwa reinkarnasi sangat cocok dengan Islam.
Doa-doa
Islam dan ayat-ayat Qur’an yang dibaca dikuburan dimaksudkan untuk membawa
kebaikan bagi orang yang mati. Jadi, ikhlas, zikir, dan tasbih dibacakan di
makam guna menjamin kesejahteraan orang yang meninggal. Istigfar dan tobat
dimasudkan untuk mendapatkan pembebasan dosa. Namun, kebajikan yang diperbuat
mendiang/almarhum melalui amal shaleh sangat menentukan.
Meskipun demikian, ada pula kepercayaan pada
kembalinya arwah yang dipandang tidak bertentangan dengan Islam. Orang yang
benar-benar percaya pada reinkarnasi biasanya menjalani hidup dengan baik,
menepati janjinya, menolak hidup mewah, menahan semua keinginan untuk
mengungguli orang lain dan menahan diri supaya tidak sombong dan ia mengutuk
tingkah laku seperti itu pada orang lain.
Mereka memperoleh pembenaran atas kepercayaan pada
reinkarnasi dalam sebuah ayat al-Qur’an yang mereka baca sebagai pujian setiap
hari setelah shalat. Disitu dinyatakan” Perpindahan malam ke siang dan perpindahan
siang ke malam; dan masuknya hidup dari mati bagi siapa saja yang disukainya
dengan tidak menghitung. Tuliju al-layla fi an-nahari, wa-tuuliju an-nahara fi
al-layli, wa tukhriju al-hayya min al-mayyiti, wa-tukhriju al-mayyita min
al-hayyi, wa-turziqu man tahsa’u bi-ghayri hisaabin.(Qur’an, 3:27) dan (Arbery
1955, I:76).
Antara ilmu
tasawuf (Islam) dan perundang-undangan Kesultanan Buton memang ada hubungan.
Murtabat Tujuh juga menyatakan bahwa arwah berpindah, teristimewa pada bagian:
orohi yitu kalipa-lipa, rohi yitu ooni arabu, maanan olipa (Wolio). Dalam
bahasa Arab nyawa itu disebut roh, karena selalu pergi atau berpindah dan sebab
itu roh dalam bahasa Wolio dikataka lipa, artinya pergi. Teks Wolio itu
mempunyai arti harfiah: roh itu pergi terus-menerus, roh itu kata Arab yang
artinya “pergi”.
Dalam doa kepada Tuhan, berdoa untuk para arwah juga
ada bagian yang biasa dibaca: “Ya Tuhan ampunilah kami dan dia. Biarlah dia
mempunyai tempat yang lebih baik, gantilah yang tidak baik dengan yang lebih
baik dan berikanlah banyak cahaya kepadanya dalam kuburan.” Dan untuk arwah
mereka yang relatif telah lama meninggal, maka kata-kata berikut: Engkau punya
kuasa mengatur segala sesuatu. Kami tidak tahu apakah arwah itu masih ada dalam
makam atau telah berpindah ke tubuh lain, tetapi Engkau punya kuasa mengatur
segala-galanya.
Pada tahun 1939, La Malangka, kepala desa Bau-bau dan
seorang Muhamadiyah menegaskan mati itu adalah mati dan tidak ada soal kembali.
Kepala desa Nganganaumala, Haji Abdullah bertanya kepadanya, dimana dapat
ditemuakan teks atau ayat yang menunjukan tidak ada reinkarnasi. Dan Ia
bertanya, “Apa artinya ayat berikut dari Qur’an ini: ”Perpindahan malam dst?”
(lihat di atas). Bagaimanapun juga mati masuk kedalam kehidupan bukan mati
mengganti kehidupan. Dan La Malangka tidak mampu menjawab hal tersebut.
Islam secara resmi tidak mencoba dengan jelas
menentang kepercayaan pada reinkarnasi. Namun, orang Buton tidak memperlihatkan
kepercayaannya demi menghindari perselisihan pendapat
C.2. Percaya
pada reinkarnasi dan pemujaan leluhur
Dalam agama Buton, ada tempat yang ditetapkan untuk
pemujaan leluhur. Tetapi bukan mendeskripsikan sebagai tempat dan ‘pemujaan’
yang terlalu jauh. Pada berbagai upacara
muslim, makam leluhur disirami
air. Seorang tua yang berilmu, memanjatkan doa atau mengucapkan patah (batata)
untuk air itu. Kembang-kembang dan wangi-wangian dibubuhkan pada air tersebut.
Bila bersiap pergi jauh atau sekembalinya, orang akan ke makam leluhur atau
orang tua untuk berdoa. Orang pergi ke kuburan orang yang telah tiada, menurut
keyakinan masyarakat Buton, orang yang telah tiada telah kembali ke kehidupan
ini melalui reinkarnasi mereka teristimewa pada anak-anak mereka sendiri. Bagi
mereka hal ini merupakan gagasan yang kompleks dan mereka tidak mencoba
menetapkan hubungan yang masuk akal.
Memang dari penjelasan tentang diatas akan menimbulkan
pertanyaan, sebagaimana pernah terjadi percakapan antara tetua adat dengan
anaknya pada tahun 1984, sang anak menanyakan “Bagaimana mungkin banyak manusia
yang lahir sedangkan jumlah arwah tetap?” Tetua adat tersebut kemudian
memberikan jawaban kepadanya bahwa satu arwah dapat menitis lebih dari satu
kali. Adakalanya seseorang yang telah meninggal, kembali melalui lebih dari
sepuluh cucu.
Ada satu jawaban mengenai hal tersebut yang diberikan
seorang informan kepada Schoorl: “Tuhan punya kekuasaan menciptakan sesuatu
dari yang tidak ada. Tuhan Maha Kuasa dan dapat membuat banyak dari apa saja.
Ia memberi siapa saja sebanyak yang Ia suka, sedikit atau banyak, tanpa
memperhitungkan; bagi Tuhan segala sesuatu mungkin. Karena ditulis dalam
Qur’an, soal roh/arwah merupakan rahasia Tuhan sendiri. Tidak seorang pun dapat
mengatakan mengapa kini ada banyak roh /arwah sedangkan biasanya hanya ada
sedikit saja, atau sebaliknya. Alam arwah hanya diketahui Tuhan saja.
Pengetahuan manusia tentang roh/ alam arwah hanya diberi tuhan sedikit saja,
sedangkan urusan roh adalah urusan Allah SWT. ” (Arberry 1955, I: 311-312).
Namun demikian walau hanya sedikit diberikan oleh tuhan kepada manusia tentang
pengetahuan roh, namun bagi manusia yang diberi kelebihan atau rahmat
oleh Allah SWT pengetahuan sedikit itu sudah amat luas karena jiwanya sudah
bisa melepas dari tubuhnya sejenak untuk pergi melanglang buana ke 7 (tujuh)
lapis langit dan 3 (tiga) alam sesudahnya untuk mengetahui tentang roh atau
arwah. Maka bagi manusia-manusia yang diberi rahmat itulah yang bisa mengetahui
urusan roh / arwah atas izin Allah SWT. ****
Artikel rujukan: Ali Habiu
Artikel rujukan: Ali Habiu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar