Senin, 10 April 2017

Etnisitas Masyarakat Buton Era Kesultanan

Etnisitas Masyarakat Buton Era Kesultanan

        Kerajaan Buton yang berdiri sejak 1332 M, awalnya merupakan kerajaan yang kecil yang terdiri empat wilayah kekuasaan (Pata limbona), kemudian menjadi Sembilan Wilayah Kekuasaan (Sio Limbona) yang dipimpin masing-masing oleh seorang Mentri (Bonto). Seiring perkembangan waktu, wilayah kerajaan/kesultanan Buton semakin luas hingga terdiri dari empat kerajaan Barata (wilayah Otonomi dengan raja tersendiri namun tunduk pada Kerajaan/Kesultanan Buton dan bertugas melindungi Kedaulatan Buton) dan 72 wilayah Kadie.

      Dengan tercetusnya perjanjian “Persekutuan Abadi” tahun 1613 dengan Belanda, Kesultanan Buton yang sebelumnya di anggap merupakan wilayah kekuasaan dari Ternate atau Gowa oleh orang-orang Eropa ternyata memperlihatkan Kedaulatannya. Ini adalah Kepandaian Kesultanan Buton (La Elangi) dalam bidang Diplomasi, yang secara tidak lansung dengan adanya perjanjian tersebut, maka Kedaulatan Kesultanan Buton mendapat pengakuan oleh bangsa Eropa (Belanda-Inggris-Portugal) berikut wilayah dan kekuasaannya.

       Masyarakat yang mendiami kesultanan Buton, terdiri atas beberapa Suku asli, adapun suku-suku tersebut adalah:
1. Suku Wolio yang mendiami Pulau Buton (pulau utama), bahagian selatan dan Kepulauan Tukang Besi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya;
2. Suku Maronene yang mendiami  Pulau Muna, Kabaena, Buton bahagian utara, Poleang, Rumbia di jazirah tenggara Sulawesi;
3. Suku laut bajoe (bajau) yang mendiami pesisiran pulau pulau Buton, Muna dan beberapa pulau yang lain (Yunus 1995a:23).
Orang Buton memiliki semangat bahari dengan corak kebudayaan yang berkait dengan laut dan adalah satu kumpulan etnik perantau di Indonesia (Southon 1995; Abdul Munafi dkk. 2002; Tenri & Sudirman 2002; Schoorl 1993:66-69).

Struktur Masyarakat Buton

1.   Kaomu atau Kaumu (kaum ningrat), iaitu keturunan  garis bapak dari pasangan raja pertama. Laki-laki dari golongan ini mempunyai nama depan La Ode dan wanitanya Wa Ode. 
2.  Walaka, iaitu keturunan menurut garis bapak dari Founding Fathers Kerajaan  buton (mia patamiana). Mereka termasuk elit penguasa. Melalui sistem tertentu, lelaki Kaomu boleh menikahi perempuan Walaka.
3.   Papara atau disebut juga “orang gunung” (Encyclopaedie 1917:16), yaitu anggota masyarakat biasa yang tinggal di wilayah kadie (desa) dan masih merdeka. Mereka disebut juga budak adat (Schoorl 1986) dan dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tetapi sama sekali tidak mempunyai jalan kepada kekuasaan di pusat.
4.     Babatua (budak) yang berhak diperjualbelikan atau dijadikan hadiah
5.   Analalaki dan Limbo. Mereka adalah golongan kaomu dan walaka yang diturunkan darjatnya kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas sesuai dengan status sosialnya (Schoorl 2003:213-14)

      Wilayah Kesultanan Buton (121,40° dan 124,50° LS;  4,20° dan 6,20° BT) meliputi gugusan kepulauan di jazirah tenggara Pulau Sulawesi, yaitu Pulau Buton (di sini terletak kota Bau-Bau dimana istana kerajaan dibina), Pulau Muna (atau Woena atau Pancano), Pulau Kabaena, Pulau-pulau kecil antara Pulau Buton dan Muna (yaitu Pulau Tiworo, Tikola, Tobeya Besar dan Tobeya Kecil, Makassar [Liwotu], Kadatua [Kadatowang], Masiring, Bata Oga, Siompu, Talaga Besar dan Talaga Kecil), Kepulauan Tukang Besi (terdiri atas Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko), Poleang dan Rumbia di jazirah Sulawesi Tenggara, Pulau Wowoni, dan sejumlah pulau kecil lainnya yang terletak di sela-sela pulau tersebut yang tidak kelihatan di peta (Encylopaedie 1917:104-05; Zuhdi dkk. 1996:5; Yunus 1995a:22)

Wilayah kesultanan terdiri atas tiga bahagian (Yunus 1995a:v).
1.  Wilayah Wolio atau keraton yang menjadi pusat pemerintahan dan pengembangan Islam ke seluruh wilayah kesultanan. Wilayah wolio hanya boleh dihuni golongan kaomu dan walaka (bangsawan).
2.  “Wilayah Kadie” (wilayah di luar keraton, seluruhnya berjumlah 72 kadie) yang dimiliki golongan penguasa dan dihuni golongan papara.
3.   kerajaan-kerajaan kecil yang disebut “wilayah Barata”, yang memiliki pemerintahan sendiri tetapi tunduk ke bawah kekuasaan pemerintah pusat setelah ditaklukkan. 

       Ada empat wilayah kekuasaan Barata yang masing-masing dipimpin Lakina Barata dari golongan Kaomu, iaitu:
1.      Barata Muna yang berpusat di Raha, di pesisir timur bahagian tengah Pulau Muna;
2.      Barata Tiworo yang berpusat di Tiworo;
3.      Barata Kalingsusu (Kalincusu) yang berpusat di bahagian timur pulau Buton;
4.      Barata Kaledupa yang berpusat di Kaledupa (Yunus 1995:22).

    Barata harus membela Kesultanan Wolio melawan musuh-musuhnya. Lebih jauh mengenai kewajiban barata terhadap Kesultanan Wolio (Buton), (Schoorl 2003:92).
Kekuasaan pusat dipegang golongan kaomu dan walaka yang berkedudukan di Keraton Wolio di Bau-Bau. Mereka menjadi penguasa yang tertinggi untuk ketiga-tiga wilayah itu (wolio, kadie dan barata).

Artikel rujukan: (Ujung Angin)

Minggu, 09 April 2017

PERJANJIAN BUNGAYA 18 NOVEMBER 1667

MENGURAI PERJANJIAN BUNGAYA
(Buton, Ternate, Bone dan VOC Vs Gowa Bima dan Portugis-Inggris)


      Ada begitu banyak referensi dari naskah-naskah yang dapat dijadikan sumber untuk mengetahui apa yang terjadi dimasa lampau, walaupun sebagian cuma tersirat, namun kita bisa mencoba menggali apa pesan yang disampaikan dari naskah-naskah tersebut. Salah satu naskah yang menarik untuk penulis bahas yaitu naskah isi perjanjian bungaya 18 November 1667. Begitu banyak informasi yang terkandung didalamnya sehingga mungkin bisa digunakan untuk sedikit meluruskan sejarah yang terabaikan. Penulis mencoba membuka ruang bagi pembaca untuk merenungkan dan ikut menggali kebenaran dari suatu informasi sejarah.

Kisah Dibalik Perjanjian Bungaya

Perjanjian Bungaya (sering juga disebut Bongaya atau Bongaja) adalah perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman. Walaupun disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowa).

Berikut penulis memila-milah inti dari perjajian bungaya tersebut dan merangkum beberapa kejadian yang mungkin bisa menambah sedikit pengetahuan sejarah.

1.         Pasal 1; Upaya pemberlakuan perjanjian tahun 1660

Dari  isi perjanjian bungaya pasal 1 dapat diketahui  sebelum perjanjian bungaya rupanya telah terjadi hubungan yang intents antara kerajaan Gowa dengan kompeni di batavia yang menghasilkan kesepakatan pada tahun 1660. Jika isi pada perjanjian bungaya mencantumkan untuk segera memberlakukan perjanjian yang terjadi pada tahun 1660, maka dapat disimpulkan sebelum tahun 1660 kerajaan gowa sudah berada dalam posisi tertekan atas hegemoni pasukan kompeni, mengingat setiap berjanjian dengan kompeni pastinya akan menguntungkan posisi kompeni itu sendiri. Walaupun isi perjanjian tersebut tidak dilaksanakan, namun dalam rentan waktu tahun 1660 sampai 1667, terjadi banyak peristiwa bersejarah beberapa diantaranya yaitu peristiwa perlawanan Arung Palakka terhadap kerajaan gowa lalu meminta suaka politik dari kesultanan buton (1660-1663), penyerangan pasukan gowa terhadap kapal VOC Walvisch tahun 1662 dan Leewin 1664 serta penyerangan kerajaan gowa dan bima ke kesultanan buton 1666 akibat suaka yang diberikan kepada Arung Palakka. Lebih jauh dari itu, sebelum terjadinya perang makassar 1666-1667, setelah  aksi penyerangan walvisch 1662, pada tahun 1663 kompeni melakukan kunjungan ke Sultanan Buton, lalu ke ternate dan kembali lagi ke buton menuju batavia dengan mengikutsertakan Arung Palakka yang menjadi buronan Kerajaan Gowa. Jika melihat sejarah buton pada tahun 1637 dan 1638 dimana kompeni menggempur kesultanan buton disebabkan sikap menolak sultan buton terhadap kompeni untuk membayar ganti rugi sebanyak 1000 budak ke kompeni karna telah menyerang kapal VOC Velzen dan  menawan Elsje janszoon, maka bisa dipahami kebijakan VOC yang selalu menggempur kerajaan yang berani melakukan penyerangan terhadap kapal-kapal VOC dan menolak untuk mengganti rugi, meskipun kerajaan tersebut sekutu VOC. Apa yang terjadi di buton 1636 terjadi juga di makassar 1662. Oleh karena itu dapat dimengerti maksud atas kunjungan VOC ke Buton dan Ternate tahun 1663 yaitu mengingat kerajaan gowa yang begitu kuat, maka VOC berusaha untuk merangkul dua kerajaan tersebut demi membalas perlawanan kerajaan gowa terhadap VOC setelah Gowa tidak mengindahkan perjanjian 1660 terlebih lagi telah melakukan aksi penghancuran kapal perang VOC Walvicsh di kepulauan selayar, dengan memamfaatkan psikologi Buton dan Ternate yang selalu terancam atas invasi Kerajaan Gowa, maka Buton dan Ternate juga berkeinginan ikut menggempur Kerajaan Gowa. Keinginan VOC itu bak mendapat durian runtuh setelah mendapatkan keikutsertaan Arung Palakka yang mewakili Kerajaan Bone untuk bersama sama menggepur Gowa setelah pertemuannya dengan Arung Palakka di Kerajaan Buton, persekutuan ini akhirnya mengantarkan kemenangan pada perang yang terjadi pada tahun 1666 di teluk Bau-bau (buton) dan penaklukan gowa 1667-1669 di Makassar yang menyebabkan runtuhnya kerajaan Gowa.

2.         Pasal  2; adanya penghianat VOC.

Pada  pasal 2  tersebut, dapat menjelaskan rakyat atau pasukan kompeni tidak semuanya berasal dari eropa saja, tetapi banyak yang merupakan rakyat pribumi, mereka adalah pasukan-pasukan/laskar dan atau budak-budak yang diberikan oleh kerajaan sekutu untuk membantu kompeni Belanda dalam rangka mempertahankan dominasinya di nusantara. Namun keinginan kompeni untuk menguasai bandar perdagangan di Makassar sebelumnya tidaklah begitu mudah, selain mendapat perlawanan dari pasukan Kerajaan Gowa, kompeni juga mendapat perlawanan dari dalam kompeni itu sendiri terutama rakyat kompeni yang berkebangsaan eropa (Belanda). Mereka yang membangkang terhadap kompeni, justru melarikan diri dan menetap di Makassar, mereka diterima oleh Kerajaan Gowa, bahkan diantaranya menjadi pejabat. inilah yang menyebabkan dimasukkannya poin tersebut, untuk kembali mengambil para penghianat VOC tersebut untuk segera di hukum.

3.         Pasal 3-5; sangsi terhadap penyerangan kapal VOC yang dilakukan kerajaan Gowa.

Sudah menjadi kebiasaan bagi kerajaan-kerajaan di nusantara, apabila berhasil menghancurkan musuh, barang barang yang ditinggalkan akan menjadi hak rampasan perang bagi pemenang, tidak terkecuali Gowa. Rupanya VOC tidak lantas melupakan aksi penyerangan kapal tersebut dan ingin meminta pertanggungjawaban atas penyerangan itu, dengan cara meminta kembali hak rampasan perang Gowa  dan pembayaran ganti rugi atas harta serta pasukan-pasukan VOC yang telah dibunuh. Mungkinkah perjanjian bungaya ini dibuat akibat balasan dari penyerangan kerajaan gowa terhadap kapal-kapal kompeni sebelumnya? Apakah menjadikan Makassar sebagai daerah monopoli perdagangan VOC menjadi satu-satunya motif penaklukan Gowa dan perjanjian bungaya?

4.         Pasal 6-8;  hubungan Gowa  Inggris-Portugis dan upaya kompeni mengesahkan monopoli perdagangan di makassar.

Makassar  sebagai salahsatu bandar perdagangan yang terbesar dinusantara, mungkin juga di Asia Tenggara dapat terlihat dari pasal 6 dan pasal 7. Sebelum terjadinya perang Makassar 1666-1669, Makassar di penuhi oleh orang berbagai bangsa baik itu eropa (Portugis dan Inggris) maupun orang jawa, melayu, aceh, dan india. Sebagai pusat pertemuan berbagai bangsa, gowa juga menjadi tempat tukar menukar tehnologi dan kebudayaan, itulah yang menyebabkan mengapa gowa begitu cepat mengalami perkembangan.

Namun hubungan Gowa dengan bangsa Portugis dan Inggris disini agaknya bukan cuma hubungan dagang biasa. Kita mengetahui, Portugis dan Inggris tidak berbeda dengan kompeni yang juga suka menjajah, dan ketiga bangsa eropa tersebut masing-masing memiliki ambisi yang sama untuk menancapkan dominasinya di nusantara termasuk Makassar. Begitu pula kerajaan Gowa mempunyai ambisi serupa untuk menjadi bangsa yang menguasai pusat perdagangan di nusantara. Seperti diketahui, Portugis adalah salah satu kerajaan yang pertama datang sebagai penjajah diwilayah nusantara diikuti dengan Inggris dan Spanyol,  Namun mengapa Inggris dan Portugis justru sepertinya bersahabat dengan Makassar? Apakah perlawanan VOC dan sekutunya (Buton, Ternate, Bone) sepenuhnya dilakukan oleh pasukan Gowa semata? Apakah saat itu, Portugis dan Inggris juga turut membantu pasukan Gowa? Pertanyaan ini mungkin dapat dikaitkan dengan peristiwa penyerangan VOC pada tahun 1605 di Maluku, dan peristiwa penyerangan kerajaan Papua-Seram ke Kesultanan Buton pada tahun 1796. Dimana kita tahu pada tahun 1605, VOC menancapkan kekuasaannya di Maluku setelah sukses menggempur pasukan Portugis di Ambon dan Ternate dan menghacurkan pasukan Inggris di Seram, dan sejak saat itu Inggris dan Portugis menganggap VOC adalah saingan utama dan terkuat dalam ambisi memperebutkan dominasi perdagangan di nusantara. Peristiwa ini membuat Portugis dan Inggris tidak berani lagi melakukan perlawanan secara terbuka terhadap VOC, dan salah satu cara yang terbaik untuk menghadapi kompeni yaitu dengan cara Inggris memanfaatkan kerajaan sekutunya untuk menggempur VOC dan sekutunya, sebagai contoh pada penyerangan kerajaan Papua-Seram ke kesultanan Buton pada oktober tahun 1796, dimana penyerangan ini dilatar belakangi oleh keinginan kedua kerajaan tersebut agar Kesultanan Buton tidak lagi bekerja sama dengan Belanda melainkan dengan kerajaan Inggris, mengingat pada akhir abad ke-18 tersebut, dominasi Inggris di nusantara sangat kuat sedangkan VOC berada diambang kehancuran. 
        Walaupun penyerangan tersebut dapat dipatahkan oleh pasukan Buton, namun yang menariknya adalah, seperti yang tercatat dalam surat Sultan Buton kepada VOC, sebelum penyerangan tersebut pada tahun 1795 delapan buah kapal perang Inggris sebelumnya singgah ke Kerajaan Buton mencari seorang berkebangsaan Belanda (serani walandah), namun dari informasi Sultan melalui jurubahasanya, orang yang dimaksud sudah kembali ke Makassar, yang aneh disini, mengapa pada saat itu pasukan Inggris tidak menyerang Kesultanan Buton yang telah melindungi buronan Inggris tersebut, namun justru kerajaan sekutunyalah (Papua dan Seram) yang menyerang Buton. Apakah ini berlaku juga bagi kerajaan Makassar yang nota bene sekutu Inggris dan Portugis? Inikah yang menyebabkan kerajaan Gowa sering menginvasi kerajaan Buton dan Ternate dan kerajan-kerajaan lainnya? Namun satu hal yang pasti, Ambisi Gowa dan persaingan antara VOC dan Inggris-Portugis  untuk menguasai perdagangan di nusantara dengan perbedaan politik dimana  VOC yang suka perang terbuka dan Inggris serta Portugal yang selalu  memanfaatkan sekutunya menjadi sumber malapetaka yang menghancurkan kerajaan Gowa. Oleh karena itulah hubungan Makassar dengan Inggris-Portugis mendapat penilaian yang khusus di perjanjian Bungaya (pasal 6 dan 27).

5.    Pasal 9; upaya kontrol belanda terhadap pelayaran rakyat gowa

        Dari  pasal 9 tersebut dapat dilihat, kontrol VOC kepada kerajaan gowa semakin besar, sehingga orang Makassar boleh berlayar setelah mendapat izin dari pemerintah Belanda. Yang menjadi pertanyaan yaitu, mengapa masyarakat gowa hanya diperbolehkan berlayar ke Bali, pantai  Jawa,  Jakarta,  Banten,  Jambi,  Palembang,  Johor,  dan  Kalimantan?. kemungkinanya yang pasti adalah wilayah tersebut pada tahun diadakan perjanjian ini (1667), bukan merupakan wilayah kerajaan sekutu VOC melainkan daerah wilayah yang telah ditaklukan oleh VOC. Mengapa demikian? Mengingat kerajaan Gowa termasuk kerajaan yang kuat, yang sebelumnya telah menjalin hubungan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan Aceh , India dll (pasal 7), maka dikuatirkan sisa-sisa pelawanan rakyat Gowa nantinya dapat kembali menggalang kekuatan bersama kerajaan-kerajaan yang belum ditaklukan VOC sehingga bisa menimbulkan perlawanan yang lebih dahsyat terhadap VOC. Begitu pula kompeni tidak mengizinkan rakyat Gowa untuk berlayar ke wilayah yang menjadi sekutu Belanda (Buton dan Ternate) dengan alasan yang sama, juga demi menjaga hubungan diplomatis antara Buton, Ternate dan VOC. Sehingga dengan demikian Belanda hanya memperbolehkan masyarakat Gowa berlayar ke wilayah-wilayah yang telah ditaklukan oleh VOC. selanjutnya dari pasal 9 tersebut, kerajaan Gowa tidak boleh mengirim kapal (termasuk berlayar) ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Kemungkinan inilah sekutu asli dari Kerajaan Gowa, selain hubungan berdagangan, Gowa juga menjalin hubungan pertahanan dan keamanan, mengingat penyerangan Gowa terhadap kerajaan Buton 1666 yang dipimpin Karaeng Bonto Marannu juga turut di bantu oleh pasukan Kerajaan Bima. Begitu pula timor yang dikuasai Portugis  sampai tahun 1973, dimana Portugis juga termasuk pemasok alat persenjataan di kerajaan Gowa, Jadi kemungkinannya yaitu Belanda memasukan poin tersebut agar Gowa tidak diberikan peluang dalam rangka menghimpun dan memperkuat kerajaan2 sekutunya yang dikuatirkan  akan balik menyerang VOC.

6.         Pasal 10-13; upaya kompeni mengurangi kekuatan kerajaan gowa dibidang pertahanan dan ekonomi.

Sebagai bandar perdagangan terbesar di timur nusantara, pertahanan militer yang kuat adalah salah satu syarat yang mutlak untuk menjamin stabilitas negrinya. Dari pasal 10 tersebut dapat dilihat dukungan kekuatan militer kerajaan Gowa dengan Benteng-Bentengnya yang tersebar di hampir sepanjang pantai Makassar, belum lagi ditambah dengan armada laut yang didukung 500-an kapal perang dan ratusan ribu laskar dengan persenjataan lengkap membuat kerajaan Gowa merupakan kerajaan terkuat di nusantara. Dari kesekian banyak benteng yang di miliki Kerajaan Gowa, dalam perjanjian tersebut, Belanda hanya menyisahkan satu benteng yang dipakai untuk di tempati Raja yaitu benteng Sombaopu. Sedangkan satu benteng lainnya di ambil oleh kompeni sebagai benteng pertahanan yaitu benteng Ujung Pandang, yang kemudian di modifikasi kompeni dan namanya diganti yang sekarang lebih dikenal dengan nama benteng Fort Roterdam.
      Mengenai benteng Sombaopu, keberadaannya setelah perjanjian Bungaya tidak begitu lama. Sisa-sisa perlawanan Gowa terus terjadi pasca perjanjian tersebut, sampai puncaknya kompeni dan sekutunya (Ternate,Bacan,Buton,Bone) menghentikan sisa-sisa perlawanan itu dengan menghancurkan benteng Sombaopu dan menyita semua perlengkapan perang Gowa pada juni 1669. Sejak runtuhnya benteng Sombaopu dan wafatnya Sultan Hasanuddin 1670,  nyaris tidak ada lagi perlawanan rakyat Gowa terhadap kompeni di makassar.
     Selain kekuatan militer, kerajaan Gowa saat itu juga didukung oleh sistem perekonomian dan perdaganan yang baik serta kebijakan moneter yang kuat, dimana kerajaan gowa menekankan penggunaan mata uang kerajaan Gowa sebagai alat tukar. Mata uang tersebut bernama jinggara, berupa logam emas yang ditengahnya terukir nama Sultan. Selain Jinggara, kerajaan gowa juga menggunakan mata uang yang disebut Kupa. Namun setelah perjanjian bongaya tersebut, maka mata uang makassar dinyatakan tidak berlaku lagi lalu diganti dengan mata uang kompeni. Upaya penghancuran kekuatan pertahanandan perekonomian Gowa dapat juga dilihat pada pasal 13, dimana kompeni disini berusaha menjadikan Gowa Kerajaan yang miskin dan lemah, dimana sejumlah uang sebagai alat perekonomian atau budak yang dapat  dijadikan pasukan perlawanan harus diserahkan kepada Kompeni. 

7.       Pasal 14 dan 15, hubungan kerajaan gowa dengan kerajaan Bima.

     Dalam sejarah, pengaruh kerajaan gowa terhadap kerajaan Bima sangatlah kuat teutama pasca runtuhnya kerajaan Majapahit. Pasal 14 menjelaskan hubungan diplomatis ini terjalin selain dalam bidang politik, ekonomi, budaya, pertahanan keamanan juga hubungan kekerabatan, dimana beberapa bangsawan Gowa menjalin hubungan suami istri dengan bangsawan Bima. Tidak sampai disitu, pasukan Bima juga banyak membantu kerajaan Gowa dalam beberapa aksi penyerangan dan perlawanan terhadap VOC dan sekutunya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pasukan Gowa dan Bima di pimpin raja Bima khair Sirajudin dan panglima perang Gowa Karaeng Bonto Marannu menyerang Kesultanan Buton pada tahun 1666 akibat suaka politik yang diberikan Kesultanan Buton terhadap buronan Gowa Arung Palakka, selain itu kesultanan Buton sejak lama merupakan incaran kerajaan Gowa demi memperluas wilayah kekuasaanya. Penyerangan ini mendapatkan perlawanan yang dasyat dari Kesultanan Buton yang sebelumnya telah mengetahui akan adanya penyerangan tersebut, dan akhirnya pasukan Kerajaan Gowa mengalami kekalahan telak setelah pasukan kesultanan Buton mendapat bantuan dari VOC yang didatangkan dari Batavia. Kekalahan pasukan Gowa dan Bima di teluk Bau-Bau tersebut menjadi petaka bagi Kesultanan Bima, dimana selain Karaeng Bonto Marannu pada akhirnya Sultan Bima Khair Sirajudin turut menjadi buronan VOC. Dalam pasal 15 menggambarkan posisi Bontomaranu dan Sultan Bima yang menjadi buronan kompeni, selanjutnya pada pasal 26, Sultan Hasanuddin diwajibkan untuk menyerahkan kedua boronan VOC itu paling lambat sepuluh hari sejak penandatangan perjanjian Bungaya dan jika tidak diserahkan maka keluarga dari boronan VOC tersebut akan ditahan.
Ada yang ironis mengenai Sultan Bima Khair Sirajudin dalam sejarah Indonesia sekarang. Nama Sultan Khair seolah-olah hilang ditelan bumi, dan tidak seharum nama Sultan Hasanuddin, sedangkan perjungan baginda tidak kalah garangnya dengan Ayam Jantan Dari Timur. Walaupun dapat dilihat pada pada naskah perjanjian Bongaya tersebut, Sultan hasanuddin-lah yang akhirnya menyetujui untuk menyerahkan saudaranya sendiri (Karaeng Bonto Marannu) dan sultan Bima (Khair Sirajudin) untuk di hukum oleh kompeni, namun perjuangan panglima perang Gowa dan baginda Sultan Khair Sirajuddin rupanya tidak mendapat perhatian yang lebih dari pengamat sejarah Indonesia.

8.         pasal 16-17; pengembalian hak-hak sekutu VOC, Buton dan Ternate

Pada pasal 16, Apakah yang dimaksud dengan mereka yang diambil dari sultan Buton (butuni/butung) dan kapankah penyerangan terakhir yang dimasud? Kemungkinan yang diambil yaitu wilayah kesultanan Buton yang diduduki kerajaan Gowa dan rakyat atau pasukan dari Kesultanan Buton yang telah menjadi tawanan kerajaan Gowa. Dalam  perjanjian tersebut kerajaan Gowa harus mengembalikan semua tawanan yang masih hidup, dan apabila telah meninggal maka harus dibayar dengan kompensasi. Kompensasi tersebut kemungkinan bisa berupa uang tebusan, atau mungkin nyawa dibayar nyawa. Lalu kapankah penyerangan terakhir yang dimaksud? Dalam naskah Kesultanan Buton, penyerangan terakhir Kerajaan Gowa sebelum perjanjian Bungaya yaitu pada tahun 1634 dan 1666. Jika yang dimaksud adalah penyerangan pada tahun 1666 di teluk Bau-Bau (Buton), maka pasal tersebut tidak memberikan arti apa-apa bagi Kerajaan Buton, disebabkan penyerangan 1666 tersebut berakhir dengan kemenangan pasukan Kesultanan Buton bersama VOC dan justru sebanyak 5000-5500 pasukan Kerajaan Gowa dan Bima menjadi tawanan di sebuah pulau (sekarang pulau makassar) diteluk Bau-Bau. Kemungkinan besar penyerangan terakhir yang dimasud adalah penyerangan yang terjadi tahun 1634, dimana pasukan kerajaan Gowa berhasil menduduki sebagian wilayah Barata Muna tepatnya di pulau Wawonii (wilayah Kendari), penyerangan  tersebut mengakibatkan banyaknya prajurit Kesultan Buton yang tewas dan menjadi tawanan Kerajaan Gowa. Peristiwa inilah yang membuat hubungan Buton dan Belanda menjadi renggang, sebab Kesultanan Buton yang berharap ingin dibantu oleh VOC pada masa penyerangan Gowa tersebut, ternyata diabaikan, hingga terjadi peristiwa aksi penawanan Elsje janszoon dan pembantaian awak kapal VOC yang bersandar di Bau-Bau 1636 sebagai protes atas keengganan VOC membantu Kesultanan Buton sebagaimana yang tercantum pada perjanjian Persekutuan Abadi 17 desember 1613. Aksi  tersebut dibalas dengan penyerangan Belanda 1637-1638 ke kesultanan Buton, namun VOC tidak bisa menembus benteng pertahanan Wolio yang menjadi pusat pemerintahan Buton. sesudahnya hubungan Buton dan VOC cuma terjalin sesekali, yang pada akhirnya hubungan buton dan VOC kembali mesra pada tahun 1650 setelah peristiwa kemalangan 500 laskar armada perang VOC yang terdampar di kepulauan Kabaena diselamatkan oleh Kesultanan Buton. peristiwa inilah yang kemudian dijadikan alasan Speelman untuk membantu Kesultanan Buton saat 500 kapal perang Gowa-Bima dan 20.000 pasukannya menyerang kesultanan Buton 1666.
          Kemudian di pasal 17, dapat dilihat seberapa luas wilayah invasi kerajaan Gowa terhadap wilayah yang oleh VOC dianggap sebagai wilayah Ternate. Pasukan Gowa mampu menembus wilayah Ternate bagian selatan di kepulauan Sula dan berhasil mengambil peralatan perang dan menjadikan pasukan Ternate sebagai tawanan kerajaan Gowa. Selain itu Gowa juga gencar melakukan penyerangan ke wilayah kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan negeri-negeri Mandar dan Manado yang seluruhnya merupakan wilayah kesultanan Ternate. Kemungkinan besar, penilaian luas wilayah Keultanan Ternate ini merujuk pada masa Ternate dipimpin oleh sultan Baabulah Datu Syah (1570-1583) setelah mengusir penjajah portugis pada tahun 1575, dimana saat itu VOC baru menginjakan kakinya di nusantara. Dibawah kepemimpinana Sultan Baabullah, Kekuatan armada perang Kesultanan Ternate begitu menakutkan bagi kerajaan-kerajaan disekitarnya dan juga pada saat itulah kesultanan Ternate berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Kesuksesan  Sultan Baabullah ini, menjadikan dirinya sebagai sultan yang berjulukan penguasa 72 pulau/negeri.
         Namun keberadaan Selayar dan Pansiano (Muna) dalam teks Bungaya disini menarik untuk dibahas. Dalam sejarah Kesultanan Buton, wilayah Muna adalah bagian dari wilayah Kerajaan Buton dan berkerabat dengan Kerajaan Selayar. Pada tahun 1491! berkat jasanya melindungi kerajaan Buton dari ancaman luar, raja Muna ke-7 Lakilaponto (anak dari Sugimanuru, cucu raja Buton ke-2) di angkat menjadi raja Buton ke-6 yang selanjutnya menjadi Sultan pertama Buton sedangkan raja Selayar yang turut membantu pasukan Lakilaponto, Opu Manjawari diangkat menjadi Sapati (Perdana Mentri) Kesultanan Buton. Hubungan Buton-Selayar ini terjalin semakin baik dengan pernikahan Lakilaponto (Sultan Murhum) dengan anak Sapati Manjawari yang sebelumnya adalah raja Selayar, yang kemudian anak dari pernikahan itu bernama La Sangaji menjadi sultan ke-3 Buton (1566-1570).
        Pada masa kejayaan Sultan Baabulah Datu Syah, kesultanan Ternate berambisi memperluas wilayah kekuasaannya dengan dalil penyebaran agama Islam. Ekspansi kesultanan Ternate ini menjadi ancaman bagi kerajaan-kerajaan disekitarnya, termasuk Buton, Selayar dan Gowa. Kesultanan Buton yang saat itu di pimpin Sultan La Sangaji,  merasa terancam atas kekuatan pasukan Ternate, sehingga memaksa Sultan bersama rakyatnya mengorbankan harta dan tenaga mendirikan benteng Keraton Wolio di buton (bau-bau) dan beberapa benteng pendukung diwilayah barata kesultanan buton yaitu benteng liya di kaledupa (Wakatobi), benteng lipu di kulisusu (Buton Utara),  benteng wara di muna dan Benteng Tiworo yang selalu siap melindungi benteng Keraton Wolio demi menjaga eksistensi Kesultanan Buton. Meskipun begitu, armada Ternate yang sangat kuat akhirnya berhasil menduduki sebagian wilayah Kesultanan Buton di wilayah Muna (Pansiano) dan juga berhasil memasukan Selayar sebagai wilayah Kesultanan Ternate. Saat itulah VOC yang baru menginjakan kakinya di nusantara pada awal abad 16 mengaggap Kesultanan Buton merupakan wilayah yang miskin dan bagian dari Ternate. Sepeninggal Sultan Baabulah, Ternate mengalami masa kemunduran. Kemunduran ini disebabkan situasi Kesultanan yang tidak stabil akibat perang yang berlarut-larut melawan Portugis dan Spanyol serta Inggris yang kembali menjajah di Maluku dan Ambon, kemunduran kesultanan Ternate ini berbanding terbalik dengan Kerajaan Gowa yang mulai mengalami puncak kejayaannya. Kerajaan Gowa-pun mulai melakukan ekspansi kewilayah-wilayah kerajaan sekitar Gowa seperti Bone, Luwu, termasuk Selayar Ternate dan Buton. keadaan  kesultanan Buton yang sering terancam oleh kerajaan tetangganya mendapat angin segar  setelah Kontrak resmi yang pertama dengan VOC disepakati pada awal tahun 1613 ketika seorang kakitangan kompeni, Appollonius Scotte, mengadakan perjanjian persahabatan dengan pihak berkuasa setempat. Ternyata kedatangan kekuatan laut asing itu telah digunakan Sultan Buton ke-4 (La Elangi) untuk mencari bantuan menghadapi aspirasi peluasan daripada Makassar-Gowa. Pasukan  gowa pada akhirnya berhasil merebut Selayar dari kekuasaan Ternate kemudian mulai menginvasi kerajaan Buton tahun 1624 dan berhasil menduduki sebagian wilayah Muna (Pansiano) sampai pulau Wawonii teluk Kendari pada tahun 1634. Begitulah keadaan Kesultanan Buton dan juga Selayar yang menjadi bulan-bulanan dua kerajaan tetangganya. Penilaian Kompeni tentang wilayah kerajaan Ternate pada masa kesultanan Baabulah inilah (awal kedatangan VOC) yang dimasukan dalam perjanjian Bungaya yang pada akhirnya membuat hubungan Buton dan Ternate selalu tegang, namun pada akhirnya VOC menyepakati kerajaan Muna merupakan Wilayah kesultanan Buton sesuai Undang-Undang Kesultanan Buton yang sebelumnya telah diakui oleh kompeni pada masa Sultan La elangi (1613). Kesultanan Buton kemudian mengangkat Muhammad Idris menjadi raja Muna ke-15 (1668-1671!). Sedangkan Kerajaan Selayar yang semula dianggap sebagai wilayah Ternate kemudian menjadi keresidenan Selayar dibawah kolonial Belanda (1739-1942).

9.         Pasal 18-21 Pemberian hak VOC dan negri-negri bugis

         Pada pasal 18 dan 21, Dapat dilihat kerajaan-kerajaan yang telah dikuasai oleh kerajaan Gowa. bisa dipastikan dengan adanya perjanjian Bungaya 1667 tersebut, kerajaan Bone (negri-negri Bugis dan Luwu serta Soppeng) akhirnya memperoleh kemerdekaannya terhadap kerajaan Gowa. Kemerdekaan ini tidak lepas dari peran Arung Palakka (La Tenri Tata Daeng Serang) yang juga merupakan Bangsawan Bone. Pasal 18 tersebut dapat menjelaskan bagaimana kerajaan Gowa memberlakukan rakyat Bugis dan penguasa-penguasanya juga wanita dan anak-anak yang ikut dijadikan tahanan. Selain ditahan, tanah-tanah bangsawan Bugis juga ikut dirampas (pasal 19) Kondisi inilah yang menyebabkan munculnya perlawanan Arung Palakka terhadap kerajaan Gowa yang walaupun masa kecilnya adalah teman dari Sultan Hasanuddin itu sendiri. Perlawanan Arung Palakka ini kemudian mendapatkan titik terang setelah pelaraiannya dari kejaran pasukan kerajaan Gowa menuju ke Kesultanan Buton pada tahun 1660, yang kemudian ikut bergabung dengan VOC (1663). Perlawanan Arung Palakka ini mencapai puncaknya setelah sukses membawa Negri Bone bersama-sama VOC, Buton dan Ternate melakukan perang penaklukan Kerajaan Gowa 1666-1667 yang berakhir dengan perjanjian Bungaya 1667 dilanjutkan dengan perang perlawanan sisa-sisa pasukan kerajaan Gowa yang berakhir dengan penghancuran Benteng Sombaopu. Melalui perjanjian ini pula, para tawanan-tawanan dari kerajaan Bugis akhirnya dibebaskan.
        Pada pasal 20 menjelaskan bahwa daerah Bulo-Bulo hingga Turatea, dan dari Turatea hingga Bungaya tetap menjadi hak penaklukan Kompeni. Dari pasal ini dapat mengisaratkan bahwa daerah ini sebelum perang Makassar 1666-1669, VOC sudah berhasil menduduki wilayah tersebut. Kemungkinannya sebelum tahun 1660, dimana pada akhirnaya Gowa dan VOC mengadakan perjanjian seperti yang dimaksud pada pasal 1. 
        Negeri Bugis lain seperti Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar adalah juga merupakan wilayah yang telah ditaklukan oleh kerajaan Gowa, namun perbedaannya disini, kerajaan-kerajaan tersebut tidak melakukan perlawanan kepada kerajaan Gowa seperti Bone Luwu dan Soppeng melainkan justru menerima kekuasaan Gowa dan juga setia serta selalu menyertai Gowa dalam segalah peperangan melawan musuh-musuhnya. Inilah mengapa pasal 21 tersebut dimasukkan.

10.     Pasal 22 Upaya belanda memantau perkembangan gowa terhadap negri-negri bugis.

       Perjuangan Arung Palakka bersama rakyatnya mendapat apresiasi yang baik dari Kompeni. Namun yang menjadi ganjalan bagi kompeni terhadap kerajaan Bugis (Bone) yaitu akibat lamanya kerajaan Gowa menguasai kerajaan-kerajaan Bugis tersebut, maka kemungkinan beberapa masyarakat dan bangsawan Gowa dan Bugis pastinya sudah menjalin hubungan misalnya hubungan suami istri dan kekerabatan. Inilah yang membedakan Bugis (Bone) dengan sekutu VOC lainnya seperti Ternate dan Buton sehingga Belanda memasukan pasal 22 untuk mengatur hubungan Gowa dengan Bugis, hal ini dimaksudkan untuk memantau perkembangan masyarakat Gowa yang dikuatirkan suatu saat jika mereka (masyarakat Gowa/campuran Bugis-Makassar) mendapatkan posisi yang baik dikerajaan Bone (Bugis) nantinya bisa memicu perang saudara dan mengancam hubungan diplomatik Bugis (bone) dan Belanda sebab nantinya akan terdapat dua pandangan yang berbeda terhadap Kompeni, dimana masyarakat Gowa menganggap belanda adalah seorang Penjajah (musuh), sedangkan Bugis (Bone) menganggap Belanda adalah sebagai sahabat. Namun apa yang dikuatirkan VOC menjadi kenyataan beberapa puluh tahun kemudian. Dan puncaknya  pada tahun 1824 terjadi penyerangan oleh pasukan Belanda kepada kerajaan Bone atas pembangkangannya terhadap Belanda yang berujung dengan peperangan dan perubahan perjanjian Bungaya tahun 1824. Apa yang menyebabkan perjanjian Bungaya 1667 ingin diubah oleh kerajaan Bone, sedangkan jika dilihat pasal perpasal isi perjanjian juga menguntungkan kerajaan Bone (Bugis), berbeda dengan kerajaan Gowa yang dengan perjanjian bungaya 1667 sangat dirugikan? Jika yang terjadi pertikaian hanyalah kerajaan Bone dan Belanda, mengapa tidak membuat perjanjian baru tanpa harus mengubah perjanjian Bungaya 1667? Anehnya pada tahun yang hampir bersamaan, kerajaan Muna juga melakukan aksi makar terhadap kesultanan Buton yang di pimpin oleh bangsawan Bone Arung Bakung dengan pasukannya yang berasal dari Makassar dan Mindanao (1816-1824).

11.     Pasal 23-25, penutupan akses bangsa lain terhadap gowa. Dan upaya pembentukan persekutuan besar terhadap kerajaan-kerajaan ditimur nusantara (pesan terselubung)
      
        Melalui perjanjian Bungaya ini Kompeni menginginkan Gowa untuk tidak lagi memberikan akses pada bangsa lain kecuali Belanda. Pasal  inilah yang membuat motif dibuatnya perjanjian Bungaya agar menjadikan Gowa sebagai bandar perdangan VOC menjadi tidak realistis, dimana seharusnya bagi semua bandar perdagangan, akses terhadap bangsa lain mestinya tetap harus dibuka. Mengapa pasal ini harus dimasukan dalam perjanjian Bungaya jika tujuannya adalah monopoli perdagangan?. Pada pasal 24 dan 25, melalui perjanjian ini Kompeni menginginkan agar semua Raja dan Bangsawan harus menjalin persahabatan  persekutuan dan menjadikan  Belanda sebagai penengah bagi setiap sengketa yang terjadi diantara persekutuan  tersebut. Jika disimak dari pasal 1 sampai 22, dimana melalui perjanjian bungaya ini VOC melakukan upaya mengambilan hak-haknya atas kerajaan gowa, penghilangan kekuatan pertahanan dan perekonomian Kerajaan Gowa, pemutusan hubungan diplomatik Gowa terhadap bangsa lain, memberikan seluruh hak2 sekutu VOC yang sebelumnya telah dirampas oleh Kerajaan Gowa dan berusaha membentuk Persekutuan besar terhadap kerajaan-kerajaan pendukung VOC dimana belanda/VOC sebagai tuan dari persekutuan tersebut, maka bisa dipastikan inti dari perjanjian Bungaya itu sebenarnya terselubung di pasal 23-25 yaitu bukan sekedar monopoli perdagangan melainkan menjadikan kerajaan Gowa-Makassar sebagai milik VOC dan pusat Pemerintahan Belanda ditimur nusantara, Lebih ekstrimnya, VOC ingin membentuk sebuah negara Belanda diatas tanah Makassar. Anehnya, justru Sultan Hasanuddin-lah yang menyetujui dan menandatangani perjanjian ini.

12.     Pasal 26 sampai pasal 30 merupakan upaya  VOC untuk melegitimasi isi perjajian perjanjian bongaya tersebut.

 Isi Perjanjian Bungaya

Naskah isi perjanjian bungaya 18 november 1667:

1.      Perjanjian yang ditandatangani oleh Karaeng Popo, duta pemerintah di Makassar (Gowa) dan Gubernur-Jendral, serta Dewan Hindia di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1660, dan antara pemerintahan Makassar dan Jacob Cau sebagai Komisioner Kompeni pada tanggal 2 Desember 1660 harus diberlakukan.
2.      Seluruh pejabat dan rakyat Kompeni berkebangsaan Eropa yang baru-baru ini atau di masa lalu melarikan diri dan masih tinggal di sekitar Makassar harus segera dikirim kepada Laksamana (Cornelis Speelman).
3.      Seluruh alat-alat, meriam, uang, dan barang-barang yang masih tersisa, yang diambil dari kapal Walvisch di Selayar dan Leeuwin di Don Duango, harus diserahkan kepadaKompeni.
4.      Mereka yang terbukti bersalah atas pembunuhan orang Belanda di berbagai tempat harus diadili segera oleh Perwakilan Belanda dan mendapat hukuman setimpal.
5.      Raja dan bangsawan Makassar harus membayar ganti rugi dan seluruh utang pada Kompeni, paling lambat musim berikut.
6.      Seluruh orang Portugis dan Inggris harus diusir dari wilayah Makassar dan tidak boleh lagi diterima tinggal di sini atau melakukan perdagangan. Tidak ada orang Eropa yang boleh masuk atau melakukan perdagangan di Makassar.
7.      Hanya Kompeni yang boleh bebas berdagang di Makassar. Orang "India" atau "Moor" (Muslim India), Jawa, Melayu, Aceh, atau Siam tidak boleh memasarkan kain dan barang-barang dari Tiongkok karena hanya Kompeni yang boleh melakukannya. Semua yang melanggar akan dihukum dan barangnya akan disita oleh Kompeni.
8.      Kompeni harus dibebaskan dari bea dan pajak impor maupun ekspor.
9.      Pemerintah dan rakyat Makassar tidak boleh berlayar ke mana pun kecuali Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten, Jambi, Palembang, Johor, dan Kalimantan, dan harus meminta surat ijin dari Komandan Belanda di sini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat ijin akan dianggap musuh dan diperlakukan sebagaimana musuh. Tidak boleh ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor, dan lainnya semua wilayah di timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau pulau-pulau di sekitarnya. Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.
10.  Seluruh benteng di sepanjang pantai Makassar harus dihancurkan, yaitu: Barombong, Pa'nakkukang, Garassi, Mariso, Boro'boso. Hanya Sombaopu yang boleh tetap berdiri untuk ditempati raja.
11.  Benteng Ujung Pandang harus diserahkan kepada Kompeni dalam keadaan baik, bersama dengan desa dan tanah yang menjadi wilayahnya.
12.  Koin Belanda seperti yang digunakan di Batavia harus diberlakukan di Makassar.
13.  Raja dan para bangsawan harus mengirim ke Batavia uang senilai 1.000 budak pria dan wanita, dengan perhitungan 2½ tael atau 40 mas emas Makassar per orang. Setengahnya harus sudah terkirim pada bulan Juni dan sisanya paling lambat pada musim berikut.
14.  Raja dan bangsawan Makassar tidak boleh lagi mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.
15.  Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu harus diserahkan kepada Kompeni untuk dihukum.
16.  Mereka yang diambil dari Sultan Butung pada penyerangan terakhir Makassar harus dikembalikan. Bagi mereka yang telah meninggal atau tidak dapat dikembalikan, harus dibayar dengan kompensasi.
17.  Bagi Sultan Ternate, semua orang yang telah diambil dari Kepulauan Sula harus dikembalikan bersama dengan meriam dan senapan. Gowa harus melepaskan seluruh keinginannya menguasai kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh pantai timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan tempat lainnya di pantai yang sama, dan negeri-negeri Mandar dan Manado, yang dulunya adalah milik raja Ternate.
18.  Gowa harus menanggalkan seluruh kekuasaannya atas negeri-negeri Bugis dan Luwu. Raja tua Soppeng [La Ténribali] dan seluruh tanah serta rakyatnya harus dibebaskan, begitu pula penguasa Bugis lainnya yang masih ditawan di wilayah-wilayah Makassar, serta wanita dan anak-anak yang masih ditahan penguasa Gowa.
19.  Raja Layo, Bangkala dan seluruh Turatea serta Bajing dan tanah-tanah mereka harus dilepaskan.
20.  Seluruh negeri yang ditaklukkan oleh Kompeni dan sekutunya, dari Bulo-Bulo hingga Turatea, dan dari Turatea hingga Bungaya, harus tetap menjadi tanah milik Kompeni sebagai hak penaklukan.
21.  Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar harus ditinggalkan oleh pemerintah Gowa dan tidak lagi membantu mereka dengan tenaga manusia, senjata dan lainnya.
22.  Seluruh laki-laki Bugis dan Turatea yang menikahi perempuan Makassar, dapat terus bersama isteri mereka. Untuk selanjutnya, jika ada orang Makassar yang berharap tinggal dengan orang Bugis atau Turatea, atau sebaliknya, orang Bugis atau Turatea berharap tinggal dengan orang Makassar, boleh melakukannya dengan seizin penguasa atau raja yang berwenang.
23.  Pemerintah Gowa harus menutup negerinya bagi semua bangsa (kecuali Belanda). Mereka juga harus membantu Kompeni melawan musuhnya di dalam dan sekitar Makassar.
24.  Persahabatan dan persekutuan harus terjalin antara para raja dan bangsawan Makassar dengan Ternate, Tidore, Bacan, Butung, Bugis (Bone), Soppeng, Luwu, Turatea, Layo, Bajing, Bima dan penguasa-penguasa lain yang di masa depan ingin turut dalam persekutuan ini.
25.  Dalam setiap sengketa di antara para sekutu, Kapten Belanda (yaitu, presiden atau gubernur Fort Rotterdam) harus diminta untuk menengahi. Jika salah satu pihak tidak mengacuhkan mediasi ini, maka seluruh sekutu akan mengambil tindakan yang setimpal.
26.  Ketika perjanjian damai ini ditandatangani, disumpah dan dibubuhi cap, para raja dan bangsawan Makassar harus mengirim dua penguasa pentingnya bersama Laksamana ke Batavia untuk menyerahkan perjanjian ini kepada Gubernur-Jendral dan Dewan Hindia. Jika perjanjian ini disetujui, Gubernur-Jendral dapat menahan dua pangeran penting sebagai sandera selama yang dia inginkan.
27.  Lebih jauh tentang pasal 6, orang Inggris dan seluruh barang-barangnya yang ada di Makassar harus dibawa ke Batavia.
28.  Lebih jauh tentang pasal 15, jika Raja Bima dan Karaeng Bontomarannu tidak ditemukan hidup atau mati dalam sepuluh hari, maka putra dari kedua penguasa harus ditahan.
29.  Pemerintah Gowa harus membayar ganti rugi sebesar 250.000 rijksdaalders dalam lima musim berturut-turut, baik dalam bentuk meriam, barang, emas, perak ataupun permata.
30.  Raja Makassar dan para bangsawannya, Laksamana sebagai wakil Kompeni, serta seluruh raja dan bangsawan yang termasuk dalam persekutuan ini harus bersumpah, menandatangani dan membubuhi cap untuk perjanjian ini atas nama Tuhan yang Suci pada hari Jumat, 18 November 1667.



Referensi
·         Andaya, Leonard Y. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17. Makassar: Ininnawa, 2004
·         Bedah buku Syair Perang Makassar (SPM). Mencari yang hilang dalam syair perang makassar. 2008. Ininnawa online
·         Suryadi, Warkah-Warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Masyarakat pernaskahan nusantara 2005
·         Mu’jizah Duka cita sultan kaimudin buton kepada raja bone, Masyarakat pernaskahan Nusantara, 2007
·         Fauzi ahmad, dkk. Bima Dalam Menyongsong Dinamika Global. KKPMBM,2008
·         Horst h. Liebner, Sebuah Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada VOC di Pulau Kabaena, Mac-Mei 1650, masyarakat pernaskahan Nusantara,2007
·         Willard A. Hanna & Des Alwi “ternate dan tidore, masah lalu penuh gejolak”pustaka sinar harapan jakarta 1996.
·         Tentang Makassar, http://makassarkota.go.id/

Artikel Rujukan: (Ujung Angin)

PEMBERONTAKAN DI ERA KESULTANAN BUTON

 Pemberontakan Dalam Pemerintahan Kesultanan Buton



Sepanjang pemerintahan Kesultanan Buton, selain mendapat tekanan dari luar, juga mendapat tekanan dari dalam. Aksi pemberontakan dan makar serta kerusuhan menghiasi perjalanan roda pemerintahan diantaranya kerusuhan di Wasongko dan Lasadewa akibat kasus Sapati Kapolangku yang menimbulkan terjadinya kesalahpahaman antara Ternate Buton tahun 1669. Disamping itu juga tercatat beberapa aksi pemberontakan dan makar yaitu sebagai berikut.

 a.     Kulisusu dan Wawoni tahun 1791  dan 1796

       Sepanjang masa pemerintahannya, Sultan ke-26 La Koporu (Muhyiuddin Abdul Gafur; 1791-1799) menghadapi banyak masalah politik, ada yang bersifat dalaman dan luaran. Antara masalah dalaman itu adalah pemberontakan di Kalincusu dan Wowoni yang banyak memakan korban dan menghabiskan senjata Buton, sehingga Sultan memohon kepada “Gurnadur Jenderal” agar dapat menjual peralatan perang agar Buton dapat mempertahankan kedaulatannya ke atas keduadua wilayah itu.  (Warkah B dan D; suryadi).
Naskah teks surat (warkah) Sultan Buton kepada Gubernur Jenderal di Batavia, yang penulis kutip dari Warkah Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden oleh Suryadi

WARKAH B: CoD.Or. 2240-IA tgl  21 September 1791
………..
Seperkara lagi, Paduka Sri Sultan dan segala wazir menteri2nya bermaklumkan Paduka Yang Dipertuan Heer Gurnadur Jenderal dan segala Raden van India di Betawi akan hal peperangan kami dengan Negeri Kalincusu sekarang ini. Maharaja Sapati dan Kapiten Laut telah sudah dimenangkan Allah, dikalahkannya Negeri Kalincusu jua adanya.
Syahdan, adapun Paduka Sri Sultan dan wazir menteri2nya serta ia melihat sudah kalah Negeri Kalincusu, lalu ia  penyuruh Raja K-n-d-w-r-h dan Menteri Katapi dan empat orang pangalasan dan seorang juru bahasa serta <teman>  teman2nya pada empat buah perahu yang pergi di Hujung Pandan pada tahun yang lalu hendak memberi  maklum kepada Paduka Ayahandah Kompeni di Mangkasar, dipesertakan dengan lasykar seratus kapal yang dibawanya ke Mangkasar jua adanya……..

WARKAH D : CoD. Or. 2240-IA tgl 31 Oktober 1796
…….
Seperkara lagi, Paduka Anakanda Sri Sultan dan segala wazir menteri2nya bermaklumkan  Paduka Ayahandah  kompeni Heer Gurnadur Jenderal dan segala Raden van India di Betawi perihal sekarang ini sudah di dalam berperang dengan Negeri Wowoni antara tiga bulan. Segala raja2 dan menteri2 serta segala rakyat tiga ribu bilangan banyaknya yang pergi menyerang Negeri Wowoni telah banyak  mati dan luka, dan senjata sudah banyak yang rusak, dan obat  dan pelor sudah habis dalam perang kami. ….
……
Dari warkah surat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa Sultan Mahyuddin terjadi sekaligus dua pemberontakan yang cukup merepotkan pemerintahaan Kesultanan Buton. pemberontakan pertama terjadi didaerah Barata Kulisusu namun pada bulan September 1791 Sapati dan Kapitalao berhasil menumpas aksi pemberontakan tersebut. Namun di tahun 1796 terjadi lagi pemberontakan yang besar di bagian daerah kadie Buton di pulau Wawoni Barata Wuna. Sebanyak 3000 prajurit raja-raja bersama mentrinya bergi berperang menggempur pemberontak, namun karena kurangnya persenjataan di sana pasukan banyak tewas dan luka-luka. Namun akhirnya aksi tersebut juga berhasil di tuntaskan. 

 b. Makar Daratan Wuna 1816-1824

Sultan ke-27 La Badaru (Sultan Dayanu Asraruddin; 1799-1823) Pada tahun 1816 seorang bangsawan Bone, Arung Bakung, melakukan aksi makar di Barata Muna atas provokasi seorang ulama bernama Syarif Saleh. Arung Bakung mengawini putri Raja Tiworo, dan oleh karena itu ia cukup berpengaruh di Muna. Ia dan pengikutnya yang berasal Makassar dan Mindanao melakukan aksi separatisme terhadap Bau-bau. Arung Bakung menjadi sempalan bagi Buton selama bertahun-tahun. Dalam aksi pemberontakannya, ia dilindungi oleh Raja Konawe dan Laiwui (Zahari 1977: III, 23). Pemberontak ini baru menyerah pada tahun 1824 dibawah pimpinan Sultan Muhammad (Idrus Kaimuddin I; 1824-1851), dua tahun setelah Sultan Dayyan Asraruddin turun tahta (Suryadi; 2008). 
  
Refrensi:

Horst h. Liebner 2007, Sebuah Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada VOC di Pulau Kabaena, Mac-Mei 1650
-          jawa Pos 10/2009 Nusantara, Festival Tutturangiana Andaala;
-         Suryadi 2009, Temuan Dokumen Sejarah Sulawesi Tenggara: Surat Tertua Kerajaan Buton dari Abad Ke-17; Kode Naskah K.Ak.98,
-       Suryadi 2007, Warkah-Warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden;
-          zuhdi;1999, Labu Rope Labu Wana;
-         Mane Oba La Ode; 2009, Provinsi Buton Raya Suatu keniscayaan sejarah;
-       Suryadi 15 maret 2008; Surat-Surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I. Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda
-         Willard A. Hanna & Des Alwi “ternate dan tidore, masah lalu penuh gejolak”pustaka sinar harapan jakarta 1996.


Referensi pertama: Ujung Angin

JEJAK BAJAK LAUT DI KESULTANAN BUTON

Perang Buton melawan Bajak Laut tahun 1824


     Pada masa pemerintahan Sultan ke-28 La Dani (Sultan Anharuddin;1823-1824), tercatat bahwa beberapa kapal Bajak laut yang datang dari timur singgah di daerah Pasar Wajo dan menyerang penduduk disana. Tidak di tahu siapa pemimpin Bajak Laut tersebut. Disamping itu Sultan La Dani harus membereskan pemberontakan dari aksi makar Barata Wuna yang juga merepotkan pemerintahannya. Muhammad Idrus yang juga pada saat itu adalah menantu dari Sultan Anharuddin tampil kedepan untuk memimpin pasukan menyerang dan menumpaskan aksi Bajak Laut. Bajak Laut tersebut berhasil dikalahkan dan Muhammad Idrus pulang dengan membawa kemenangan, lalu diangkat menjadi Sultan ke-29 menggantikan mertuanya yang cuma menjabat selama satu tahun.

    Menurut Zahari (1977: III, 25-7) Sultan Anharuddin diturunkan dari kekuasaannya karena melakukan beberapa kesalahan dalam prosedur militer, antara lain dalam penumpasan Bajak Laut yang menyerang Pasar Wajo. Aksi penumpasan itu dipimpin oleh Muhammad Idrus, menantunya, yang kemudian menggantikannya menjadi Sultan dengan gelar Kaimuddin I. Zahari berspekulasi bahwa alasan pemberhentian Sultan Anharuddin sepertinya tidak kuat, “tetapi agaknya terkandung suatu rahasia pribadi dari Sultan Anharuddin terhadap anak mantunya [itu]” (Ibid.:26).(suryadi;2007).

Artikel Rujukan: (Ujung Angin)

Perang Buton – Papua dan Seram 1796-1799.

Perang Buton – Papua dan Seram 1796-1799.


Sebagai Sultan baru di Buton, Sultan ke-26 La Kopuru (Muhyiuddin Abdul Gafur; 1791-1799) berusaha memperbaiki hubungan Buton-Kompeni yang tegang pada tahun-tahun sebelum baginda naik takhta. Selain itu, ada juga dikesani bahwa secara peribadinya Sultan Muhyiuddin lebih dekat kepada Kompeni berbanding dengan Sultan Azim Al-Din.  Langkah untuk mendekatkan diri dengan Kompeni adalah semacam strategi politik Sultan Muhyiuddin kerana Baginda menghadapi persoalan politik dalaman yang serius, selain ancaman dari luar. Ancaman luar yang terus menerus dirasakan Buton adalah perlumbaan pengembangan kuasa dari dua buah kerajaan besar jirannya: Ternate dan Makassar. Oleh itu, Sultan Muhyiuddin tetap bekerjasama dengan Belanda, penaung utama yang sejak dahulu lagi telah melindungi mereka. Sultan Muhyiuddin juga tidak lupa mengingatkan Kompeni agar jangan mengabaikan Buton, baik dalam masa damai atau dalam keadaan terancam. Ancaman luar juga datang dari orang-orang Seram (ditulis “Seran”) dan Papua. (Suryadi 2007)

Supaya lebih memahami kondisi kerajaan Buton saat itu , penulis coba menampillkan naskah teks surat (warkah) Sultan Buton kepada Gubernur jenderal di Batavia pada tanggal 31 Oktober 1796, yang penulis kutip dari Warkah Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden CoD. Or. 2240-IA oleh Suryadi

Qawluhu al-haqq wa-kalamuhu al-sidq,
Bahwa inilah warkat al-mahbat dipesertakan dengan tabi hormat al-ta’zim dan takrim daripada Paduka Anakanda Sri Sultan Muhyiuddin raja Buton dengan segala wazir muazzam orang besar2nya dan menteri2 serta sekalian bobato natiasa mengandung hati terang benderang, barang disampaikan Allah Subhanahu wataala datang kiranya mendapatkan ke bawah qadam kursi Paduka Ayahandah Kompeni Tuan Heer Gurnadur Jenderal di Betawi yang memerintahkan sekalian alam Tanah Jawah dengan segala Tuan2 Raden van India yang ada sertanya di dalam <di dalam> kota Kompeni bernama Intan Betawi bandar yang kamaliyah…
…..
Jadilah Paduka Anakanda Sri Sultan dan segala wazir menteri2nya dengan seboleh2 menyeru dengan sangat
permintaannya yang amat kasihan hatinya di bawah kemuliaan dan kemurahannya oleh Paduka Ayahandah Kompeni Heer Gurnadur Jenderal dan segala Raden van India di Betawi. Maka, jikalau ada kiranya suka dan rida
lagi percaya kepada Negeri Buton, maka kami minta mau beli senapang barang empat ratus pucuk yang baik lagi bagus, dan obat empat puluh pikul, dan timah dua puluh pikul dan batu api barang empat ribu bilangan banyaknya. Maka, akan harganya telah juga di dalam surat utusan itu, tetapi di dalam {h}ati pun permintaan kami jikalau boleh dengan bolehnya, maka seyogianya Paduka Ayahandah Kompeni ditolong kami, jangan kiranya memeri sia-siakan permintaan kami ini, karena di dalam sukar Negeri Buton. Jikalau binasa Negeri Buton siapa lagi yang rugi dan yang bercinta melainkan Paduka Ayahandah kompeni jua adanya.
Seperkara lagi, Paduka Anakanda Sri Sultan dan segala wazir menteri2nya bermaklumkan Paduka Ayahandah Kompeni Heer Gurnadur Jenderal dan segala Raden van India di Betawi perihal adapun Negeri Papua dan Negeri Seran sudah berittifaq hendak menyerang Negeri Buton pada masa kehabisan daripada angin timur sekarang ini kehendaknya. Adapun jumlah bilangan banyaknya selaksi dua ribu orang yang menumpang kepada tiga ratus haluan perahunya. Maka, pada masa sekarang ini setengah telah sudah datang. Maka, peri yang diserangnya telah sudahlah empat negeri yang bernama Hawasangka dan Wawoluw dan Lasalimu dan Kaedupa serta dengan  perkataannya: “Dimana negeri yang berpegang kepada Paduka Ayahandah Kompeni iaitulah akan hal kami hendak membinasakan dia”. Dan lagi, antara dua bulan ini telah sudah tiga kali yang membawa warta khabar yang sadiq kepada kami. Pertama, orang Bugis dan orang Buton yang telah ditangkapnya, maka ia lari kemari di Buton bersama2, lalu ia membawa warta khabar kepada kami seperti demikian hal perkataannya: “Adapun orang Papua yang tiga ratus perahu dari sana tiada lagi lain perginya hendak menyerang Negeri Buton.” Demikian jua adanya. Dan yang kedua lagi, orang Binongko yang telah lari kemari demikian lagi perkataannya: “Dimana2 negeri  ang sekarang ini yang ada berpegang kepada Kompeni Walandah yang tiada ia mengikut Inggris, maka betullah  kami membinasakan dia.” Dan yang ketiga, warta khabar yang datang kepada kami akan suruhan kami yang membawa surat kepada Gubernur di Mangkasar suruh bawa kepada Heer di sana dari Ternate. Maka, peri tatkala ia kembali utusan kami ini, maka bersinggah dari Banggai dan serta ia sampai dari Banggai utusan kami, maka raja Banggai telah adalah berkirim surat kepada Paduka Sri Sultan Buton dengan disuruhnya lagi utusan kami itu dengan segeranya kembali ke Buton. Demikianlah perkataannya: “Kembailah kamu lekas berdapat kepada Paduka Sri Sultan di Buton supaya diingatnya perahu yang tiga ratus di sana. Maka, tiadalah lain melainkan ke Negeri Buton jua hendak diserangnya.” Maka, inilah Paduka Anakanda Sri Sultan dan segala wazir menteri2nya daripada sebab ia membayangkan hal permintaan kami ke bawah daulat kemuliaan Paduka Ayahandah Kompeni yang amat kuasa di Bawah Angin dengan <dengan> seharap2nya hal permintaan kami ini dengan harap yang sempurna telah habis dinyatakan jua adanya, demikianlah. ………

Sultan Muhyiuddin selalu melaporkan dengan rinci setiap peristiwa politik yang terjadi dalam kerajaannya ataupun memberi kabar tentang kapal-kapal Kompeni atau Inggris yang melintas di perairan Buton juga keamanan yang menyangkut perairan di Buton. ini di lakukan untuk menjaga hubungan diplomatic dengan Belanda di mana Belanda saat itu merupakan bangsa yang besar dan mampu memberi perlidungan dari ancaman oleh kerajaan atau bangsa lain.

Sekitar bulan September 1796, sultan Mahyuddin mendapat kabar dari dua orang yang lepas dari tangkapan armada Seram dan Papua dan melaporkan bahwa Prajurit perang dari Seram dan Papua datang ke Buton untuk menyerang dan menghacurkan kerajaan Buton. Kemudian kabar itu di benarkan juga oleh masyarakat Binongko dan juga utusan Buton di Makassar yang sedang menuju Ternate namun diperjalannan dia mendapat khabar dari kerajaan Banggai kalau Buton hendak di serang. Rupanya Kerajaan Seram dan Papua tidak suka dengan Belanda, sehingga mereka akan menghancurkan siapa saja kerajaan yang bersekutu dengan Belanda dan tidak mau berhubungan dengan Inggris. Dapat disimpulkan bahwa aksi penyerangan tersebut mendapat dukungan dari kerajaan Inggris, yang kebetulan pada akhir abad ke-18 dengan Belanda saling berebut pengaruh di wilayah timur Nusantara.  Dengan membawa 2000 prajurit dan 300 Armada kapal  didukung persenjataan dari Inggris, pada bulan Oktober seperdua dari Armada tersebut telah tiba dan menggempur wilayah Buton bagian barat (Mawasangka) dan Wawolowu, utara (Kulisusu) , timur (Kaledupa). Keadaan ini membuat Sultan Muhyiuddin meminta kepada Belanda untuk segera menjual peralatan perang dengan harga yang terjangkau. Belum ditahu kapan berakhirnya perang tersebut. Namun yang pasti, pada masa pemerintahan Sultan ke-27 La Badaru (Sultan Dayanu Asraruddin; 1799-1823), kesultanan Buton Aman dari serangan luar dan hanya tercatat sekali pemberontakan dari dalam yaitu aksi makar Muna (1816-1824). Ada kemungkinan penyerangan berakhir pada tahun 1799 di bawah pimpinan La Badaru, karena sudah menjadi kebiasaan di Kesultanan Buton, pemimpin perang yang membawa kemenangan menjadi alasan buat “Sarana” (Badan Legislative Kesultanan) untuk dipertimbangkan menjadi Sultan. Ini juga dapat di lihat dari masa jabatannya yang lama (24 tahun), dimungkinnkan karena prestasinya yang gemilang.

       Sultan La Badaru Dayanu Asraruddin merombak beberapa aturan pemerintahan Kesultanan antara lain dengan membuat aturan Prosedur Militer dan aturan Sabandara (syahbandar).
Peristiwa penting yang terjadi di masa kekuasaan Sultan Asraruddin adalah ditutupnya perjanjian dengan Kompeni di Makassar pada 12 Januari 1804 (Ligvoet 1878:87). Sultan Asraruddin tampaknya cukup kritis kepada Kompeni dibanding sultan sebelumnya sultan Muhyiuddin Abdul Gafur.

(Ujung Angin)

Perang Buton Belanda tahun 1752, 1755 hingga 1776

Perang Buton Belanda tahun 1752, 1755 hingga 1776

Perjanjan Bongaya tahun 1667 di Makassar ternyata tidak memberi pengaruh yang luas terhadap Kesultanan Buton, walaupun kenyataannya Kesultanan Buton mepunyai andil yang sama dengan Ternate dalam upaya penaklukan Makassar 1666-1669.  pemberian porsi kekuasaan yang besar terhadap kerajaan ternate dan VOC/kompeni sendiri dirasa sebagai upaya pengurangan kekuatan/ wilayah kekuasaan Buton dan sebagai usaha adu domba dengan Kerajaan Ternate. Salah satu pasalnya yaitu dengan memberikan pengakuan wilayah seluruh pantai timur Sulawesi dari Menado ke Pansiano (Wuna) adalah dulunya merupakan milik raja Ternate (pasal 17). Disamping itu perjanjian yang berkaitan dengan monopoli dagang Hindia-belanda dengan dihapuskannya bea dan pajak impor maupun ekspor terhadap kompeni (pasal 8) yang diterapkan diseluruh persekutuan Belanda, dampaknya mulai dirasakan Kesultanan Buton yang saat itu mengakibatkan hilangnya salah satu pemasukan kerajaan sebagai daerah transit kapal-kapal yang menuju ke timur (Ternate-Ambon-Papua) dan ke barat (Makassar-Jawa-Bali).

hubungan Buton-Kompeni sangat tegang dalam period pemerintahan Sultan Buton ke-20 dan 23, Himayatuddin, alias Oputa Yikoo alias Lakarambau (1751-1752 & 1760-1763). Seperti Sultan Azim Al-Din, Sultan Himayatuddin tidak mengindahkan isi perjanjian 1667 yang disemak Kompeni untuk kepentingan mereka sendiri. Selain itu, ada sebab lain pemicu ketegangan itu, iaitu peristiwa tenggelamnya kapal Rustenwerk milik VOC di luar pelabuhan Bau-Bau tahun 1752 yang kononnya diserang orang Buton. (Suryadi 2007)

Adalah sultan Buton ke- 20 dan 23 La Karambau ( Sultan Himayatuddin ; 1751-1752 dan 1760-1763) yang mencoba melakukan perlawanan terhadap arogansi dari Kompeni. La karambau tidak mengindahkan perjanjian 1667 yang dianggapnya sangat menguntungkan kompeni.  Salah satunya aksinya yaiu dengan melakukan penyerangan terhadap kapal Rustenwerk milik kompeni Belanda di bawah pimpinan Kapten Mazius Tetting. Kejadian bermula pada saat Sultan mengirim beberapa orang menuju kekapal Belanda yang sedang berlabu di perairan Buton untuk menegosiasikan pembayaran. Namun kompeni tidak mau mau membayar ongkos berlabu dan akhirnya terjadi pertengkaran dan saling menyerang. Utusan Buton lalu membunuh dan menawan sebagian kelasinya dan menjarah isi kapal pada 28 juni 1752. Peristiwa tersebut membuat marah kompeni dan hubungan Buton-Belanda menjadi renggang. Kemarahan kompeni ditampilkan dengan meminta seribu orang budak sebagai ganti rugi. Bagi La Karambau hal ini tidak dapat kabulkan dan justru menentang permintaan dari pihak Kompeni tersebut. Akibat tindakan Sultan La Karambau, Kompeni Belanda mengirim pasukannya pada akhir 1752 di bawah pimpinan Johan Benelius menyerang Buton.  


…..Orang ini mewakili pihak yang berkuasa di Buton. Dia dan anak buahnya datang ke kapal itu untuk merundingkan perdagangan dengan Kompeni. Kedatangan mereka disambut awak kapal Rustenwerk bernama Andries Wylander dan Frans Franz dibawa menghadap kapten kapal. Rundingan itu berlangsung selama 5 jam diselingi makan dan minum-minum (juga minum wine). Namun, kemudian terjadi salah paham antara Frans Fransz dan kapten kapal. Frans Fransz dengan anak buahnya mengamuk di atas kapal itu. Akhirnya, kedua-dua belah saling menyerang dan membunuh dengan memakai pistol dan senjata tajam. Dua belas orang terkorban dalam kejadian itu dan para pengikut Frans Fransz menjarah isi kapal itu. Akibat peristiwa itu, hubungan Buton-Kompeni menjadi tegang. Kompeni marah dan minta ganti rugi dengan “[me]mintak seribu kepalah budak” (meminta seribu orang budak) kepada pihak Buton (kode: 23/Jawi/18/4; koleksi Faoka Zahari, Bau-Bau, hlm.3 baris 21-22). Pihak Buton tidak dapat memenuhi permintaan itu dan akhirnya Kompeni menyerang Buton pada awal 1752 di bawah pimpinan Johan Benelius. Pada 24 Februari 1755, Kompeni menyerang Buton lagi di bawah pimpinan Kapten Johan Casper Rijsweber. Mereka menggempur Keraton Wolio, mengakibatkan tewasnya beberapa orang petinggi kesultanan, antara lain kapitalao matanayo La Ode Sungkuabuso, dan beberapa orang sapati (A. Said, email 18-11-2005). ( Suryadi 2007)
  
Demi mempertahankan kedaulatan kesultanan Buton, La Karambau turun memimpin perlawanan melawan Kompeni. Untuk mengisi kekosongan Pemerintahan maka Kesultanan Buton mengankat Sultan ke-21 Hamim (Sultan Sakiyuddin; 1752-1759) yang juga ternyata menetang keberadaan Kompeni.  Kompeni tidak menyangka mendapat perlawanan hebat dari La Karambau yang juga di dukung Sultan Hamin, membuat mereka harus mundur. Hasilnya kompeni menambah armada perang kembali menyerang Buton pada februari 1755 di bawah pimpinan Kapten Johan Casper Rijsweber menggempur Keraton Buton. kembali kompeni mendapat perlawanan hebat dari pasukan La Karambau, walaupun tidak sehebat seperti pada awal perlawanan. Pasukan kompeni berhasil memukul mundur pasukan La karambau sehingga memaksa pasukan La Karambau harus melakukan penyerangan secara gerilya dihutan-hutan yang dipusatkan dibenteng siontapina. Tehnik perang gerilya tersebut ternyata sangat berhasil dan mengusir pasukan Kompeni dari tanah Buton. Keberhasilan La karambau dalam mengusir pasukan Kompeni mejadikan dia dinobatkan kembali menjadi Sultan Buton Ke-23 menggatikan Sultan ke-22 yang menjabat cuma setahun La Seha (Sultan Rafiuddin; 1759-1760) dengan tambahan gelar Sultan Himayatuddin Oputa yi koo dalam makna Sultan Himayatuddin (La Karambau) Raja di hutan (1760-1763).

Kembalinya La Karambau menjadi Sultan Buton ke-23 mendapat banyak pertentangan dari kalangan petinggi kesultanan termasuk juga mendapat tekanan dari Kompeni. Hal ini bagi sebagian kalangan, pengangkatan kembali Sultan La Karambau yang terlalu kritis terhadap kompeni dapat merusak perjanjian ”Persahabatan Abadi Buton-Belanda” yang telah di ucapkan oleh Sultan-sultan terdahulu. Karena desakan itu maka terjadi pergantian kepemimpinan dengan diangkatnya La Jampi (Sultan Kaimuddin;1763-1788) sebagai sultan Buton yang ke-24. Dan oleh Belanda, La Karambau menjadi orang yang paling dicari untuk di bunuh sebagai pertanggungjawaban atas tindakannya melawan serta membunuh banyak Kompeni. Meskipun telah turun tahta La Karambau memiliki banyak pengikut setia dan terus melakukan perlawanan terhadap Kompeni. Perlawanan yang dipimpin La Karambau tersebut kembali mengakibatkan banyaknya korban yang berjatuhan. Satu pejabat tinggi bersama anak dan cucu La Karambau di tawan dan dibawa ke Belanda.

Penyanderaan anak dan cucu ini tidak menyurutkan hatinya untuk memerangi Belanda, justru ia melanjutkan perlawanannya dengan strategi  perang rakyat semesta bersama rakyat desa-desa dipantai timur Buton dengan taktik gerilya yang kembali berpusat di puncak gunung Siontapina. Perjuangan Lakarambau  melawan kezaliman dan ketidak adilan Belanda tersebut berlangsung selama 24 tahun (1752-1776) sampai ajal menjemputnya di puncak gunung Siontapina. (Mane Oba La Ode; 2009). Perang melawan Kompeni tersebut banyak menelan korban dari kedua belah pihak. Di Buton, antara lain Sapati (pejabat tinggi Kesultanan),Bonto Ogena, Raja Lawele dan Tondana  mantan raja Rakina dan termasuk kapitalao matanayo La Ode Sungkuabuso gugur dalam mempertahankan kedaulatan negrinya. ( zuhdi;1999 : Ligvoet, 1878-78-9)

Sultan ke-24 La Jampi mencoba kembali menjalin hubungan Buton-Belanda yang telah retak. demi terciptanya hubungan kedua belah pihak, Sultan mengadakan persetujuan sepihak dengan Kompeni pada tanggal 12 maret 1766 yang hasilnya merugikan Kesultanan Buton. Inti dalam perjanjian  adalah bahawa Belanda memasukkan Kerajaan Buton ke dalam Pax Neerlandica. kepada Kompeni, perjanjian ini adalah perluasan dari kontrak perjanjian pertama antara Buton dengan Belanda yang ditandatangani pada 17 Desember 1613 yang mengikat Persekutuan Abadi antara Buton dan Belanda (Schoorl 2003:69, n.4).v. Perjanjian ini mendapat perlawanan yang keras terutama bagi Sultan ke-25 La Masalamu (Sultan Azim Al-Din ; 1788-1791). Sultan Azim Al-Din dengan tegas meminta pihak Kompeni untuk meninjau kembali Perjanjian 1766 yang isinya merugikan pihak Buton. Salah satu pasal dalam perjanjian itu yang tidak disukai Sultan Azim Al-Din adalah ketentuan bahawa setiap penggantian sultan Buton harus dilaporkan kepada wakil Kompeni di Makassar (pasal 28). Pasal itu juga mengatur bahawa pihak Buton wajib berunding terlebih dahulu dengan Kompeni mengenai setiap calon Sultan baru mereka dan juga yang akan diturunkan dari takhtanya. Pasal ini jelas bertentangan dengan semangat perjanjian pertama Buton-Kompeni (Perjanjian 1613) dengan kedua-dua pihak berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Jika dalam perjanjian 1766 Buton harus melaporkan setiap penggantian sultannya kepada Kompeni (yang mengisyaratkan pengetatan kontrol politik oleh Kompeni kepada Buton), maka masuk akal apabila Sultan Azim Al-Din yang ingin mempertahankan kebebasan Buton tidak dapat menerimanya. Dengan kata lain, Sultan Azim Al-Din menilai Kompeni sudah terlalu jauh ikut campur tangan dalam urusan politik internal Buton. Baginda cukup kritis dan tidak mahu tunduk kepada kemahuan Kompeni yang memang terkenal doyan kontrak. Kini, hampir 30 tahun kemudian, Sultan Azim Al-Din yang sedang berkuasa ingin agar kontrak perjanjian itu disemak lagi, melanjutkan protes para pendahulunya. Nada warkah balasan Kompeni itu cukup keras, walaupun mereka akhirnya mahu menyemak pasal 28 dalam perjanjian baru itu. Kompeni kesal dengan Sultan Azim Al-Din yang mengatakan bahawa Baginda tidak tahu-menahu isi perjanjian 1766. Itu tidak masuk akal, sebab sudah berkali-kali pihak Kompeni dan pembesar Buton saling berkirim warkah membahas perjanjian itu, baik sesudah ‘dipersumpahkan’ atau sebelumnya. Anihnya, tidak lama selepas itu, Sultan Azim Al-Din turun takhta dan Sultan Muhyiuddin Abdul Gafur naik takhta menggantikannya. (Suryadi 2007).

  Horst h. Liebner 2007, Sebuah Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada VOC di Pulau Kabaena, Mac-Mei 1650
-          jawa Pos 10/2009 Nusantara, Festival Tutturangiana Andaala;
-         Suryadi 2009, Temuan Dokumen Sejarah Sulawesi Tenggara: Surat Tertua Kerajaan Buton dari Abad Ke-17; Kode Naskah K.Ak.98,
-       Suryadi 2007, Warkah-Warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden;
-          zuhdi;1999, Labu Rope Labu Wana;
-         Mane Oba La Ode; 2009, Provinsi Buton Raya Suatu keniscayaan sejarah;
-       Suryadi 15 maret 2008; Surat-Surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I. Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda
-         Willard A. Hanna & Des Alwi “ternate dan tidore, masah lalu penuh gejolak”pustaka sinar harapan jakarta 1996.

(Ujung Angin)

Perang Buton - Gowa Makassar di Teluk Buton (1666-1667)

Perang Buton - Gowa Makassar di Teluk Buton (1666-1667)


Perang Buton dengan kerajaan Makassar adalah konskuensi atas tindakan Kesultanan Buton yang memberi suaka politik pada Aru palaka yang melarikan diri bersama beberapa pengikutnya atas kejaran kerajaan Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin (1631 – 1670). Sebagaimana yang diterangkan dalam kajian horst h. Liebn 2007 Mac Leod dapat menerangkan alasan Speelman membantu Kesultanan Buton pada saat di serang pasukan Makassar awal tahun 1667, yaitu  dikarenakan Speelman merasa berhutang atas bantuan Sultan yang telah menyelamatkan 600 armada VOC beserta muatan dan alat persenjataannya termasuk yang telah di ambil oleh nelayan setempat (sagori), ketika 4 dari 5 Armada VOC yang menuju Ternate karam di kepulauan Sagori tahun 1650, meskipun saat itu hubungan VOC dengan Buton masih renggang.

…Demikian juga dengan sebahagian besar muatan dan senjata VOC yang telah diselamatkan dengan yang lain diambil orang tempatan. Yang paling penting adalah berkembangnya hubungan persahabatan antara orang Buton dan pendatang dari Eropah: Selain terjalinnya hubungan diplomat yang erat antara VOC dengan Kerajaan Wolio (yang kebetulan pada awal tahun 1667 adalah alasan bagi Laksamana Speelman untuk membantu Sultan Buton ketika diserang armada Makassar!), (Mac Leod 1927:429).


Dipimpin Karaeng Bonto Marannu, Armada Kerajaan Gowa didukung kesultanan Bima dan Luwu dengan 700 Armada kapal dan 20.000 prajurit menyerang Kesultanan Buton pada akhir tahun 1666, yang pada saat itu kesultanan Buton berada dibawah pemerintahan Sultan ke-10 La Simbata (Sultan Adilil Rakhiya; 1664-1669 M), Pertempuran hebat diteluk Bau-bau oleh kesultanan Buton di bantu dengan Belanda dibawah pimpinan Cornelis Speelman dan prajurit Bone bertempur melawan Armada kerajaan Gowa. Pertempuran tersebut mengakibatkan kekalahan besar bagi kerajaan Gowa. Dan ribuan prajurit termasuk Karaeng Bonto Marannu di tawan dan di asingkan di Liwuto Makasu (baca; pulau Makasar). Dalam catatan Belanda, Pulau Makkasar dinaman juga “Makassarsch Kerkhof” atau Kuburan Makassar. Adalah mantan Sultan Ke-9 Buton yang kemudian membebaskan dan memulangkan mereka, sedangkan Daeng Mandangi dan Daeng Mandongi, Serta Karaeng Gasalah kawin dengan penduduk setempat.

Tentang Aru Palakka (baca; Arung Palakka ) dalam sejarah Bone menceritakan, Meskipun Aru Palakka tumbuh besar dalam didikan kerajaan Makassar, namun Aru Palakka adalah bangsawan yang tidak suka pada pemerintahan Hasanuddin yang menjadikan rakyatnya sebagai perkerja (budak). Kesewenang-wenagan pemerintahan Gowa memberlakukan rakyat Bone memicu rasa siri (harga diri) bagi Aru Palakka. ketidaksenangan Aru Palaka ini di wujudkan dengan pemberontakan terhadap kerajaan Makassar. Namun Aru palaka tidak dapat melawan gempuran kerajaan Makassar sehingga memaksa Aru Palakka bersama Tobala mencari perlindungan meninggalkan Bone dan pergi ke Buton dengan beberapa ratus pengikutnya.

Ada kisah yang menarik  sehubungan dengan pelarian Bangsawan Bone Aru Palakka ke Negeri Buton. Pada saat pengejaran kerajaan Makassar sampai ke Buton. Utusan Makassar Karaeng ri Gowa menanyakan keberadaan Aru Palaka kepada  Sultan Ke-9 La Awu (Sultan Malik Sirullah ;1654-1664 M) namun pertanyaan itu dijawab dengan sumpah yang menyatakan bahwa “Aru palakka tidak ada di atas tanah Buton ini, Jika ucapanku salah, maka air akan menenggelamkan negeri Buton”. Sumpah ini diterima dan dianggap sah yang tentu saja mengecewakan prajurit kerajaan Makassar yang pulang tanpa hasil. Namun sesungguhnya pada saat Sultan Buton mengangkat sumpah, Aru Palakka memang berada di Buton, tetapi bersembunyi di dalam ceruk goa yang berada tepat di bawah benteng Keraton Buton (Baca; Liana La Toondu). Belakangan keberadaan Aru palaka diketahui Kerajaan Gowa yang ternyata berada di Buton sejak tahun 1660. Kejadian ini membuat Sultan sakit hati dan marah karena keberanian Buton melindungi Aru Palakka serta merasa tertipu oleh sumpah Sultan Buton. Rasa marah Sultan membuat kerajaan Gowa  mengirim armada perangnya melakukan penyerangan secara besar-besaran ke Buton demi menghancurkan Kesultanan Buton dan menangkap Aru Palakka hidup atau mati. Peristiwa pelarian Aru palaka ke Kesultanan Buton dan upaya penyelamatan dengan menggunakan sumpah, menjadi buah bibir dan selalu di kenang bagi masyarakat Bone – Buton hingga sekarang.

Perang Makassar (1966 – 1969)

Kekalahan besar pasukan Armada kerajaan Gowa di Buton melemahkan pertahanan kerajaan Gowa di Makassar. Hal ini dimanfaatkan oleh kerajaan-kerajaan yang sebelumnya berada di bawah tekanan  Kerajaan Gowa, kembali balik menyerang. VOC dibawah pasukan Speelman, Ternate dibawah Sultan Mandarsyah (1645-1675), Buton dibawah Kapitalao Jitanggalawu dan Bone di Bawah pasukan Aru palaka melakukan penyerangan besar-besaran ke Makassar baik dari laut maupun darat pada tahun 1667. Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin dan Armada Karaeng Galesong mendapat pukulan hebat dan kekalahan besar sehingga memaksa Sultan Hasannudin tunduk dan menandatangani perjanjian Bongaya November 1667. Berjanjian tersebut merupakan kemunduran besar bagi kerajaan Gowa karena harus melepaskan dominasi kekuasaannya terhadap kerajaan-kerajaan lain dan salah satunya pelepasan pemerintahan atas kerajaan Bone. Meskipun perjanjian Bongaya sudah disepakati namun serangan sisa-sisa perlawanan kerajaan Gowa yang menentang perjanjian tersebut masih terus terjadi (1668). Nanti setelah tahun 1669 perlawanan selesai setelah benteng Somba Opu telah rata dengan tanah.

.Pelayaran padah itu adalah sebahagian daripada ikhtiar VOC yang telah menjadi sebuah kekuatan politik dan tentera untuk menguasai sumber rempah ratus itu. Pergelutan untuk penguasaan atas sumber rempah ratus di Maluku itu hanya berakhir dengan penaklukan Makassar oleh bala tentara gabungan Bugis-Ternate-Buton-Belanda dalam Perang Makassar, 1666-69 dengan ditundukkannya Ternate pada tahun 1677/1684 (Chaudhuri 1985; Reid 1988-1993) . (horst h. Liebner;2007)
  

Kutipan Naskah teks surat kapitalao Buton Jitawanggalu yang berada bersama Sultan Ternate Sultan Mandarsyah (1645-1675) Oktober tahun 1669 yang di tulis di Makassar kepada Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuycker di Batavia. Naskah surat tersimpan di UB leiden Belanda dengan Kode K.Ak.98

…. “[S]ahabat Kapiten Laut [Buton] mem[b]eri maklum kepada Gurnadur Jen[d]ral tatkala disuruh oleh Sahabat Raja Buton kami mengiringkan Paduka Sri Sultan Ternate sama2 mengikut pada A[d]miral Cornelis Speelman ke Tanah Mengkasar supaya kami mengerjakan kerja kita”…..
… “Tertulis dalam Benteng Parinringa yang be[r]dekatan dengan kota Rotterdam dua lapan (<sembilan>; kata sisipan, Suryadi) likur hari dari bulan Jumadil Awal pada tahun Jim hijrat al-Nabi Salallahu alaihi wassalam seribu dua lapan puluh genap”. (Suryadi; 2009)

Jelas bahwa K.Ak.98  ditulis tak lama setelah Gowa dikalahkan oleh VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman.  Isi surat ini cukup menggambarkan posisi politik Buton selepas Perjanjian Bongaya (1667) melalui mana VOC berhasil menekan ambisi politik Kerajaan Gowa yang sering menginvasi kerajaan-kerajaan tetangganya, termasuk Buton (Suryadi; 2009).

(Ujung Angin)
                 

BUTON VS BELANDA (VOC)

Perang Buton – Belanda VOC. (1637 – 1638)



         Hubungan diplomatic yang di sepakati antara VOC dengan kesultanan buton sejak Kesultanan ke- 4. Sultan La Elangi (Dayanu Iksanuddin ; 1578-1615 M) dengan di ikrarkannya “Persekutuan Abadi” oleh Apollonius Scotte dibawah Gubernur Jendral Pieter Both tahun 1613 lambat laun semakin retak, ini disebabkan karena kebanyakan dari anggota garnisium Belanda selalu menipu dan berbuat sesuatu yang arogan terhadap rakyat Buton. Keadaan ini memicu ketidakpercayaan didalam petinggi Kesultanan untuk melanjutkan perjanjian tersebut, hingga terjadi penyerangan kapal Velzen milik VOC yang didukung Sapati Kesultanan yang menentang perjanjian. Penyerangan kapal dagang VOC yang terdampar di salah satu wilayah kadie (wilayah kecil kesultanan dibawah perintah kesultanan Buton) di pulau Wawoni menimbulkan kesalahpahaman dan perpecahan yang berakhir dengan peperangan.

.......Walau bagaimanpun, anggota garnisun baru Belanda di Bau-Bau itu ternyata“bermain bak  binatang dengan cara yang menjengkelkan” (Ibid.:308), sehingga Sultan dan rakyatnya merasa “amat terganggu” (Idem). Hasilnya, pada pertengahan tahun 1613 gabenor jeneral VOC  P. Both singgah di Buton dan menjatuhkan hukuman ke atas “binatang” VOC itu. Schoorl dalam pembahasannya mengenai sejarah Buton memberitakan dengan terperinci kejadian itu, termasuk suatu penipuan antara orang VOC sendiri (1991:27; 2003:22-23).  Pada tahun 1624, Sultan Buton meminta bantuan daripada Belanda untuk mempertahankan kerajaannya dari serangan Makassar. Tetapi, VOC tidak menghiraukannya sehingga pada tahun 1634 laporan bahawa Buton telah menjadi daerah taklukan Kerajaan Gowa-Makassar diterima. Ternyata banyak perselisihan telah berlaku dengan penaklukan Makassar itu dan penggantian takhta kerajaan Buton pada tahun 1635/36 menjadi alasan suatu konflik yang mendalam telah berlaku dalam pemerintahan Buton. [Makassar] di bawah sapati, semacam “perdana menteri” kesultanan, mendukung pembantaian awak sebuah fluyt VOC, Velzen, yang terkandas di Pulau Wowoni, serta pembunuhan, penawanan dan penyiksaan terhadap kakitangan sebuah kapal dagang peribadi Belanda yang singgah di Bau-Bau. Sultan menempatkan isteri nakhoda kapal partikulir Belanda yang ikut ditahan, Elsje Janszoon, itu di rumah isterinya sendiri dengan diberi layanan dengan baik, di mana ia “menginap sebagai tamu [dan] selalu diperlakukan dengan baik” (Schoorl 1991:32-34, 2003:30-31). Akhirnya, pada tahun 1637 dan – dalam skala lebih besar– tahun 1638 VOC menyerang Bau-Bau, “met intentie […] in d’assche te leggen tot revengie ende exempel van de leelycke moort” (“dengan maksud […] dihanguskan habis sebagai balas dendam dan contoh atas pembunuhan yang keji itu”) (Schoorl 1991: 311). Akan tetapi, kedua-dua serangan itu tidak berhasil merebut
benteng Wolio yang merupakan pusat Kesultanan Buton. Setelah itu, hanya sesekali terjadi hubungan antara Belanda dan Buton, di mana “dari kedua belah pihak terlihat sikap berhati-hati” (Schoorl 1991:34-38, 2003:31-38 ( Horst h. Liebner;2007)
  
catatan Schoorl sangat jelas menggambarkan hubungan Kesultanan Buton dan VOC yang pasang surut dan berakhir dengan perang yang sangat dasyat. Sultan ke-5 Sultan La Balawo (1617-1632)  merasakan ancaman invasi dari kerajaan Makassar yang telah menaklukan Selayar, sehingga Sultan berinisiatif untuk meminta bantuan kepada Belanda yang berada di Batavia jikalau nantinya kerajaan Gowa menyerang Buton, mengingat Makassar adalah salah satu kerajaan yang kuat pada masa itu, namun surat tersebut ternyata tidak dihiraukan. Keadaan ini membuat konflik  internal dalam Kesultanan Buton, akibat hilangnya kepercayaan petinggi Kesultanan Buton (Sapati) terhadap Belanda namun sebagian lagi golongan masih mengharapkan bantuan dari Kerajaan Belanda sebagaimana keyakinan mereka terhadap perjanjian persekutuan abadi yang telah di ikrarkan oleh Sultan terdahulu. Schloor juga menjelaskan bagaimana Penyerangan di bawah pimpinan Sapati yang mendukung penyerangan menghancurkan kapal – kapal VOC  yang terkandas di pulau Wawonii  dan melakukan pembantaian awak sebuah Fluyt VOC, Velzen, serta pembunuhan, penawanan dan penyiksaan terhadap kakitangan sebuah kapal dagang peribadi Belanda yang singgah di Bau-Bau. Meskipun Sultan menempatkan isteri nakhoda kapal partikulir Belanda yang ikut ditahan, Elsje Janszoon,  itu di rumah isterinya sendiri dengan diberi layanan dengan baik, di mana ia “menginap sebagai tamu dan selalu diperlakukan dengan baik ‘’ Namun tidak menyurutkan keinginan Belanda untuk membumi hanguskan Kesultanan Buton,  untuk memberi pelajaran atas kekejian yang (menurut mereka) dilakukan atas perintah Sultan Buton.
Penyerangan pertama Belanda dilakukan pada akhir tahun 1637 di lanjutkan penyerangan kedua tahun 1638 dengan jumlah armada dan persenjataan yang lebih besar. Serangan armada VOC terjadi pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-6 Sultan La Buke (1632-1645). Pertempuran tersebut sangat dasyat dan menimbulkan banyak korban dari kedua belah pihak. Meskipun banyaknya korban yang berjatuhan dari pihak Buton, sampai pertempuran berakhir, armada Belanda tidak berhasil menjatuhkan dan merebut benteng keraton Wolio dimana merupakan pusat Kasultanan Buton.

  Horst h. Liebner 2007, Sebuah Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada VOC di Pulau Kabaena, Mac-Mei 1650
-          jawa Pos 10/2009 Nusantara, Festival Tutturangiana Andaala;
-         Suryadi 2009, Temuan Dokumen Sejarah Sulawesi Tenggara: Surat Tertua Kerajaan Buton dari Abad Ke-17; Kode Naskah K.Ak.98,
-       Suryadi 2007, Warkah-Warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden;
-          zuhdi;1999, Labu Rope Labu Wana;
-         Mane Oba La Ode; 2009, Provinsi Buton Raya Suatu keniscayaan sejarah;
-       Suryadi 15 maret 2008; Surat-Surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I. Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda
-         Willard A. Hanna & Des Alwi “ternate dan tidore, masah lalu penuh gejolak”pustaka sinar harapan jakarta 1996.

    (Ujung Angin)

PERANG BUTON DENGAN ARMADA KAPAL LA BOLONTIO HINGGA PEPERANGANNYA DENGAN TERNATE

PERANG BUTON DENGAN ARMADA KAPAL LA BOLONTIO HINGGA PEPERANGANNYA  DENGAN TERNATE

Perang besar pertama yang tercatat dalam sejarah Kerajaan Buton yaitu perang melawan Armada kapal La Bolontio yang menguasai perairan banda pada akhir abad ke-15!. Tidak banyak  literature yang menjelaskan asal dari La bolontio. Beberapa Sumber  menyebut bahwa Labolontio adalah seorang Bajak Laut yang menguasai kepulauan Moro di Filipina, perairan banda sampai selayar. Namun dalam manuskrip Buton, tercatat bahwa labolontio adalah seorang kapten laut dari kepulauan Tobelo Kesultanan Ternate. La bolontio memimpin pasukan laut dibawah perintah Sultan Ternate ke-4 Sultan Baabullah Datu Sah (1570-1584), untuk memperluas wilayah kekuasaannya juga dalam rangka menyebarkan pengaruh Islam di kawasan timur Nusantara termasuk Buton, Bima, Selayar dan Makassar yang pada saat itu kebanyakan Kerajaan masih beragamakan Hindu. Penyerangan Armada Labolontio ke Buton terjadi pada saat kerajaan Buton masih dipimpin raja ke-5 Rajamulae ( sampai dengan 1491). Disini terlihat ada perbedaan interval waktu yang sangat jauh antara masa Rajamulae dengan Sultan Baabulah yang terpaut hampir 90 tahun. Namun jika di konversi ketahun Rajamulae maka diperoleh kemungkinan kesamaan waktu antara Raja Buton dengan Sultan Ternate pada masa Pemerintahaan Sultan pertama Ternate  Zainal Abidin (1486-1500).

Kehebatan Armada Laut Labolontio sangat disegani dan merupakan ancaman yang menakutkan bagi kerajaan-kerajaan lain pada saat itu. Dalam rangka mempertahankan kerajaannya, Raja Mulae meminta kerajaan-kerajaan Baratha [daerah penunjang pertahanan kesultanan Buton yang memiliki raja sendiri (Wuna ( Muna ), Kulisusu, Tiworo dan Kaledupa)] untuk mempertahankan kerajaan Buton. Adalah  La kilaponto [anak dari Sugimanuru (Raja wuna ke-3) dan cucu dari Bataraguru (Raja Buton ke-3) yang kebetulan juga adalah kemenakan dari Raja mulae] yang pada saat itu menjadi raja  Wuna VII memimpin penyerangan terhadap Armada Labolontio bersama Raja Selayar Opu Manjawari didukung rakyat Muna dan Kulisusu. Peperangan Armada laut Buton–Selayar dengan Pasukan Armada Labolontio dimenangkan oleh pasukan Lakilaponto bersama Opu Manjawari di daerah yang sekarang lebih di kenal dengan nama Labuantobelo (Labuan = Pelabuhan/persinggahan ; Tobelo = Daerah/pulau Tobelo). Berkat Jasa keduanya,  maka Kerajaan Buton mengankat Lakilaponto menjadi Raja ke-6 Buton (1491-1527)  yang selanjutnya menjadi Sultan ke-1 Buton dengan gelar  Sultan Kaimuddin khalifatul khamisi (1528 – 1537) [tahun kesultanan ini saya pakai merujuk pada penelitian La Niampe tentang sejarah masukanya islam ke tanah Buton] dan Opu manjawari mejadi Sapati di Kerajaan Buton.


Pengangkatan Lakilaponto menjadi Raja Ke-6 Buton dan Opu Manjawari dari selayar menjadi Sapati di Buton dapat menjelaskan bagaimana Kedudukan Kerajaan Buton terhadap kerajaan disekililingnya. Begitupun kerajaan Selayar Namun ada yang khusus bagi Raja Selayar Opu Manjawari. Apakah Raja Selayar mempunyai hubungan darah dengan raja Buton, ataukah Selayar  merupakan bagian dari kerajaan Buton atau Sahabat Kerajaan buton, atau sahabat raja Muna? Atau apa yang sebenarnya telah terjadi di Selayar? Namun ini agak sangat sulit dijelaskan dan perlu pengkajian sebab keberhasilan seorang Raja Selayar mengalahkan Pasukan Labolontio menjadikan dirinya Pati kerajaan Buton, walaupun pada akhirnya cucu dari Sapati Manjawari hasil perkawinan dari anak perempuanya dengan  Lakilaponto bernama La Sangaji menjadi Sultan Ke-3 Buton (1566-1570). La Sangaji merupakan Sultan yang merintis pembangunan Benteng Keraton Wolio yang merupakan benteng pertahanan terkuat di zamannya serta menjadi saksi perang kesultanan Buton yang masih kokoh hingga sekarang. 

Perang Buton Dan Ternate 

Dibawah kepemimpinan Sultan Baabullah, Kekuatan armada perang Kesultanan Ternate begitu menakutkan bagi kerajaan-kerajaan disekitarnya dan juga pada saat itulah kesultanan Ternate berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Kesuksesan  Sultan Baabullah ini, menjadikan dirinya sebagai sultan yang berjulukan penguasa 72 pulau/negeri. Pada masa kejayaan Sultan Baabulah Datu Syah, kesultanan Ternate berambisi memperluas wilayah kekuasaannya dengan dalil penyebaran agama Islam. Ekspansi kesultanan Ternate ini menjadi ancaman bagi kerajaan-kerajaan disekitarnya, termasuk Buton, Selayar dan Gowa. Pada tahun 1580!, pasukan ternate yang mengekspansi Kesultanan Buton, kemudian berhasil menduduki salah satu wilayah barata Kesultanan Buton, yaitu Kerajaan Muna (Pansiano). Semenjak saat itu, VOC yang baru menginjakan kakinya di Nusantara mengaggab bahwa Kesultanan Buton merupakan wilayah dari Maluku (kesultanan Ternate).

(Ujung Angin)



KEDATANGAN MIA PATAMIANA DI PULAU BUTON

  KEDATANGAN MIA PATAMIANA DI PULAU BUTON Sejarah peradaban pulau buton tidak terlepas dari peran para pendatang melalui jalur laut seba...