Minggu, 09 April 2017

Perang Buton Belanda tahun 1752, 1755 hingga 1776

Perang Buton Belanda tahun 1752, 1755 hingga 1776

Perjanjan Bongaya tahun 1667 di Makassar ternyata tidak memberi pengaruh yang luas terhadap Kesultanan Buton, walaupun kenyataannya Kesultanan Buton mepunyai andil yang sama dengan Ternate dalam upaya penaklukan Makassar 1666-1669.  pemberian porsi kekuasaan yang besar terhadap kerajaan ternate dan VOC/kompeni sendiri dirasa sebagai upaya pengurangan kekuatan/ wilayah kekuasaan Buton dan sebagai usaha adu domba dengan Kerajaan Ternate. Salah satu pasalnya yaitu dengan memberikan pengakuan wilayah seluruh pantai timur Sulawesi dari Menado ke Pansiano (Wuna) adalah dulunya merupakan milik raja Ternate (pasal 17). Disamping itu perjanjian yang berkaitan dengan monopoli dagang Hindia-belanda dengan dihapuskannya bea dan pajak impor maupun ekspor terhadap kompeni (pasal 8) yang diterapkan diseluruh persekutuan Belanda, dampaknya mulai dirasakan Kesultanan Buton yang saat itu mengakibatkan hilangnya salah satu pemasukan kerajaan sebagai daerah transit kapal-kapal yang menuju ke timur (Ternate-Ambon-Papua) dan ke barat (Makassar-Jawa-Bali).

hubungan Buton-Kompeni sangat tegang dalam period pemerintahan Sultan Buton ke-20 dan 23, Himayatuddin, alias Oputa Yikoo alias Lakarambau (1751-1752 & 1760-1763). Seperti Sultan Azim Al-Din, Sultan Himayatuddin tidak mengindahkan isi perjanjian 1667 yang disemak Kompeni untuk kepentingan mereka sendiri. Selain itu, ada sebab lain pemicu ketegangan itu, iaitu peristiwa tenggelamnya kapal Rustenwerk milik VOC di luar pelabuhan Bau-Bau tahun 1752 yang kononnya diserang orang Buton. (Suryadi 2007)

Adalah sultan Buton ke- 20 dan 23 La Karambau ( Sultan Himayatuddin ; 1751-1752 dan 1760-1763) yang mencoba melakukan perlawanan terhadap arogansi dari Kompeni. La karambau tidak mengindahkan perjanjian 1667 yang dianggapnya sangat menguntungkan kompeni.  Salah satunya aksinya yaiu dengan melakukan penyerangan terhadap kapal Rustenwerk milik kompeni Belanda di bawah pimpinan Kapten Mazius Tetting. Kejadian bermula pada saat Sultan mengirim beberapa orang menuju kekapal Belanda yang sedang berlabu di perairan Buton untuk menegosiasikan pembayaran. Namun kompeni tidak mau mau membayar ongkos berlabu dan akhirnya terjadi pertengkaran dan saling menyerang. Utusan Buton lalu membunuh dan menawan sebagian kelasinya dan menjarah isi kapal pada 28 juni 1752. Peristiwa tersebut membuat marah kompeni dan hubungan Buton-Belanda menjadi renggang. Kemarahan kompeni ditampilkan dengan meminta seribu orang budak sebagai ganti rugi. Bagi La Karambau hal ini tidak dapat kabulkan dan justru menentang permintaan dari pihak Kompeni tersebut. Akibat tindakan Sultan La Karambau, Kompeni Belanda mengirim pasukannya pada akhir 1752 di bawah pimpinan Johan Benelius menyerang Buton.  


…..Orang ini mewakili pihak yang berkuasa di Buton. Dia dan anak buahnya datang ke kapal itu untuk merundingkan perdagangan dengan Kompeni. Kedatangan mereka disambut awak kapal Rustenwerk bernama Andries Wylander dan Frans Franz dibawa menghadap kapten kapal. Rundingan itu berlangsung selama 5 jam diselingi makan dan minum-minum (juga minum wine). Namun, kemudian terjadi salah paham antara Frans Fransz dan kapten kapal. Frans Fransz dengan anak buahnya mengamuk di atas kapal itu. Akhirnya, kedua-dua belah saling menyerang dan membunuh dengan memakai pistol dan senjata tajam. Dua belas orang terkorban dalam kejadian itu dan para pengikut Frans Fransz menjarah isi kapal itu. Akibat peristiwa itu, hubungan Buton-Kompeni menjadi tegang. Kompeni marah dan minta ganti rugi dengan “[me]mintak seribu kepalah budak” (meminta seribu orang budak) kepada pihak Buton (kode: 23/Jawi/18/4; koleksi Faoka Zahari, Bau-Bau, hlm.3 baris 21-22). Pihak Buton tidak dapat memenuhi permintaan itu dan akhirnya Kompeni menyerang Buton pada awal 1752 di bawah pimpinan Johan Benelius. Pada 24 Februari 1755, Kompeni menyerang Buton lagi di bawah pimpinan Kapten Johan Casper Rijsweber. Mereka menggempur Keraton Wolio, mengakibatkan tewasnya beberapa orang petinggi kesultanan, antara lain kapitalao matanayo La Ode Sungkuabuso, dan beberapa orang sapati (A. Said, email 18-11-2005). ( Suryadi 2007)
  
Demi mempertahankan kedaulatan kesultanan Buton, La Karambau turun memimpin perlawanan melawan Kompeni. Untuk mengisi kekosongan Pemerintahan maka Kesultanan Buton mengankat Sultan ke-21 Hamim (Sultan Sakiyuddin; 1752-1759) yang juga ternyata menetang keberadaan Kompeni.  Kompeni tidak menyangka mendapat perlawanan hebat dari La Karambau yang juga di dukung Sultan Hamin, membuat mereka harus mundur. Hasilnya kompeni menambah armada perang kembali menyerang Buton pada februari 1755 di bawah pimpinan Kapten Johan Casper Rijsweber menggempur Keraton Buton. kembali kompeni mendapat perlawanan hebat dari pasukan La Karambau, walaupun tidak sehebat seperti pada awal perlawanan. Pasukan kompeni berhasil memukul mundur pasukan La karambau sehingga memaksa pasukan La Karambau harus melakukan penyerangan secara gerilya dihutan-hutan yang dipusatkan dibenteng siontapina. Tehnik perang gerilya tersebut ternyata sangat berhasil dan mengusir pasukan Kompeni dari tanah Buton. Keberhasilan La karambau dalam mengusir pasukan Kompeni mejadikan dia dinobatkan kembali menjadi Sultan Buton Ke-23 menggatikan Sultan ke-22 yang menjabat cuma setahun La Seha (Sultan Rafiuddin; 1759-1760) dengan tambahan gelar Sultan Himayatuddin Oputa yi koo dalam makna Sultan Himayatuddin (La Karambau) Raja di hutan (1760-1763).

Kembalinya La Karambau menjadi Sultan Buton ke-23 mendapat banyak pertentangan dari kalangan petinggi kesultanan termasuk juga mendapat tekanan dari Kompeni. Hal ini bagi sebagian kalangan, pengangkatan kembali Sultan La Karambau yang terlalu kritis terhadap kompeni dapat merusak perjanjian ”Persahabatan Abadi Buton-Belanda” yang telah di ucapkan oleh Sultan-sultan terdahulu. Karena desakan itu maka terjadi pergantian kepemimpinan dengan diangkatnya La Jampi (Sultan Kaimuddin;1763-1788) sebagai sultan Buton yang ke-24. Dan oleh Belanda, La Karambau menjadi orang yang paling dicari untuk di bunuh sebagai pertanggungjawaban atas tindakannya melawan serta membunuh banyak Kompeni. Meskipun telah turun tahta La Karambau memiliki banyak pengikut setia dan terus melakukan perlawanan terhadap Kompeni. Perlawanan yang dipimpin La Karambau tersebut kembali mengakibatkan banyaknya korban yang berjatuhan. Satu pejabat tinggi bersama anak dan cucu La Karambau di tawan dan dibawa ke Belanda.

Penyanderaan anak dan cucu ini tidak menyurutkan hatinya untuk memerangi Belanda, justru ia melanjutkan perlawanannya dengan strategi  perang rakyat semesta bersama rakyat desa-desa dipantai timur Buton dengan taktik gerilya yang kembali berpusat di puncak gunung Siontapina. Perjuangan Lakarambau  melawan kezaliman dan ketidak adilan Belanda tersebut berlangsung selama 24 tahun (1752-1776) sampai ajal menjemputnya di puncak gunung Siontapina. (Mane Oba La Ode; 2009). Perang melawan Kompeni tersebut banyak menelan korban dari kedua belah pihak. Di Buton, antara lain Sapati (pejabat tinggi Kesultanan),Bonto Ogena, Raja Lawele dan Tondana  mantan raja Rakina dan termasuk kapitalao matanayo La Ode Sungkuabuso gugur dalam mempertahankan kedaulatan negrinya. ( zuhdi;1999 : Ligvoet, 1878-78-9)

Sultan ke-24 La Jampi mencoba kembali menjalin hubungan Buton-Belanda yang telah retak. demi terciptanya hubungan kedua belah pihak, Sultan mengadakan persetujuan sepihak dengan Kompeni pada tanggal 12 maret 1766 yang hasilnya merugikan Kesultanan Buton. Inti dalam perjanjian  adalah bahawa Belanda memasukkan Kerajaan Buton ke dalam Pax Neerlandica. kepada Kompeni, perjanjian ini adalah perluasan dari kontrak perjanjian pertama antara Buton dengan Belanda yang ditandatangani pada 17 Desember 1613 yang mengikat Persekutuan Abadi antara Buton dan Belanda (Schoorl 2003:69, n.4).v. Perjanjian ini mendapat perlawanan yang keras terutama bagi Sultan ke-25 La Masalamu (Sultan Azim Al-Din ; 1788-1791). Sultan Azim Al-Din dengan tegas meminta pihak Kompeni untuk meninjau kembali Perjanjian 1766 yang isinya merugikan pihak Buton. Salah satu pasal dalam perjanjian itu yang tidak disukai Sultan Azim Al-Din adalah ketentuan bahawa setiap penggantian sultan Buton harus dilaporkan kepada wakil Kompeni di Makassar (pasal 28). Pasal itu juga mengatur bahawa pihak Buton wajib berunding terlebih dahulu dengan Kompeni mengenai setiap calon Sultan baru mereka dan juga yang akan diturunkan dari takhtanya. Pasal ini jelas bertentangan dengan semangat perjanjian pertama Buton-Kompeni (Perjanjian 1613) dengan kedua-dua pihak berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Jika dalam perjanjian 1766 Buton harus melaporkan setiap penggantian sultannya kepada Kompeni (yang mengisyaratkan pengetatan kontrol politik oleh Kompeni kepada Buton), maka masuk akal apabila Sultan Azim Al-Din yang ingin mempertahankan kebebasan Buton tidak dapat menerimanya. Dengan kata lain, Sultan Azim Al-Din menilai Kompeni sudah terlalu jauh ikut campur tangan dalam urusan politik internal Buton. Baginda cukup kritis dan tidak mahu tunduk kepada kemahuan Kompeni yang memang terkenal doyan kontrak. Kini, hampir 30 tahun kemudian, Sultan Azim Al-Din yang sedang berkuasa ingin agar kontrak perjanjian itu disemak lagi, melanjutkan protes para pendahulunya. Nada warkah balasan Kompeni itu cukup keras, walaupun mereka akhirnya mahu menyemak pasal 28 dalam perjanjian baru itu. Kompeni kesal dengan Sultan Azim Al-Din yang mengatakan bahawa Baginda tidak tahu-menahu isi perjanjian 1766. Itu tidak masuk akal, sebab sudah berkali-kali pihak Kompeni dan pembesar Buton saling berkirim warkah membahas perjanjian itu, baik sesudah ‘dipersumpahkan’ atau sebelumnya. Anihnya, tidak lama selepas itu, Sultan Azim Al-Din turun takhta dan Sultan Muhyiuddin Abdul Gafur naik takhta menggantikannya. (Suryadi 2007).

  Horst h. Liebner 2007, Sebuah Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada VOC di Pulau Kabaena, Mac-Mei 1650
-          jawa Pos 10/2009 Nusantara, Festival Tutturangiana Andaala;
-         Suryadi 2009, Temuan Dokumen Sejarah Sulawesi Tenggara: Surat Tertua Kerajaan Buton dari Abad Ke-17; Kode Naskah K.Ak.98,
-       Suryadi 2007, Warkah-Warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden;
-          zuhdi;1999, Labu Rope Labu Wana;
-         Mane Oba La Ode; 2009, Provinsi Buton Raya Suatu keniscayaan sejarah;
-       Suryadi 15 maret 2008; Surat-Surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan Kaimuddin I. Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda
-         Willard A. Hanna & Des Alwi “ternate dan tidore, masah lalu penuh gejolak”pustaka sinar harapan jakarta 1996.

(Ujung Angin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEDATANGAN MIA PATAMIANA DI PULAU BUTON

  KEDATANGAN MIA PATAMIANA DI PULAU BUTON Sejarah peradaban pulau buton tidak terlepas dari peran para pendatang melalui jalur laut seba...